Secara historis tidak diketahui pasti kapan tanggal berdirinya pesantren Maslakul Huda, namun dapat dipastikan rintisan aktifitas cikal bakal keberadaan Maslakul Huda sudah berlangsung sekitar tahun 1910an. Pada waktu itu, mbah Mahfudh ( ayah Kiai Sahal Mahfudh) telah menginjak dewasa, beliau ingin mempunyai pesantren sendiri. Mbah Mahfudh setelah menimba ilmu dari mekah sempat tabarukan sebentar kepada kiai Hasyim Asy’ari, ketika beliau ngangsu kaweruh di tebuireng saat itu sudah diberikan kesempatan mengajar oleh mbah Hasyim Asy’ari, sehingga ketika mbah mahfudh minta diri pulang untuk merintis pesantren di kajen, beberapa santri yang dulu menjadi muridnya di tebuireng ikut beliau, yang akhirnya menjadi santri pertama di Maslakul Huda.
Pada awalnya pesantren ini belum bernama Maslakul Huda tetapi Polgarut singkatan dari nama daerah dimana pesantren ini berada yaitu, Gempol garut. Baru ketika pesantren dipegang oleh kiai Sahal Mahfudh sekitar tahun 1963 dinamakan Maslakul Huda ( jalannya pituduh ) dengan maksud sebagai tahap lanjutan dari Mathali’ul Huda ( sumbernya pituduh) pesantren yang didirikan ayah mbah Mahfudh ( Mbah Abdussalam ) yang diasuh oleh Mbah Abdullah Salam (almarhum) putra Mbah Abdussalam dan sekarang diasuh oleh kiai Nafi’ Abdillah (putra Mbah Abdullah Salam)
Pesantren Maslakul Huda berdiri diatas tanah seluas 5000m. Dalam perjalan sejarahnya, pesantren ini telah mengalami pergantian pengasuh tiga kali. Tahap perintisan dipegang oleh Kiai Mahfudh Salam yang selanjutnya ketika beliau wafat pengasuh dipegang oleh adik beliau K.H Ali Mukhtar bin Abdussalam. Selanjutnya setelah putra kiai Mahfudh yang bernama KH.MA Sahal Mahfudh pulang dari pengembaraan mencari ilmu, pesantren diasuh oleh beliau sampai sekarang.
Secara geografis, letak pesantren Maslakul Huda berada di wilayah desa Kajen paling barat, keberadaannya berbatasan langsung dengan Desa Ngemplak, tepatnya di arah barat Makam Syech Ahmad Mutamakkin dan sebelah timur jalan Pati Tayu km 15, Bangunan pesantren Maslakul Huda terdiri dari 20 lokal kamar santri, kantor pengurus 1 lokal, Mushola, perpustakaan, Aula 2 lokal besar dan kecil, ruang tamu 3 lokal, Kamar Ustadz 5, tempat wudlu 2 lokal dan kamar mandi/wc 17 lokal, Lab Bahasa 1, Lab Komputer 1. Setting tata ruang dan bangunan pesantren sangat mencerminkan keterbukaannya terhadap perubahan dan perkembangan nilai dan wacana yang terus melaju, dimana kompleks pesantren putra dan putri dibelah oleh jalan umum yang setiap saat baik pada siang ataupun malam hari masyarakat umum bebas melintas. Demikian juga pesantren putra, tidak ada pagar yang membatasi aktifitas dan komunikasi dengan pihak luar, hal ini menjadi bukti nyata dan niatan dari pesantren untuk terbuka dan berintegrasi dengan lingkungan sekitar.
Pola dan setting bangunan model tersebut punya nilai positif sekaligus negatif. Positif dalam arti tidak terjadi pengekangan dan pembatasan terhadap santri dalam beraktifitas sehari-hari. Santri dibiarkan untuk bebas menentukan sikap dan pilihannya asal bertanggung jawab dengan tugas dan statusnya. Pola tersebut juga menampik anggapan yang sering dialamatkan pada pesantren sebagai lembaga yang eksklusif dan tertutup. Dengan bentuk semacam ini santri lebih leluasa untuk memilih dan menentukan kreatifitasnya dengan tanpa melanggar atauran main yang ada. Setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi diluar dirinya santri akan cepat menyerap dan tanggap.
Namun di sisi yang lain, dengan model bangunan yang sangat terbuka tersebut, pesantren terutama pengurus mempunyai tugas dan tanggung jawab tambahan yang lebih berat berhubungan dengan kontrol terhadap santri dan perkembangan yang mereka alami. Karena dengan model bangunan terbuka seperti ini, kemungkinan santri untuk keluar dan lari dari berbagai aktifitas yang diadakan pesantren sangat besar. Tapi sekali lagi gagasan dan ide lebih besar nilai dan harganya dari sekedar persoalan teknis, pengurus lebih rela melakukan kerja tambahan dengan melakukan pengontrolan dan pengabsenan yang ketat setiap waktu terhadap para santri, terutama dalam aktifitas-aktifitas tertentu yang bersifat wajib.
Salah satu kebijakan yang ditempuh dalam rangka menertibkan santrinya untuk fokus dan eksis dalam wilayah tholabul ‘ilmi, pesantren mewajibkan setiap santri untuk sekolah formal klasikal yang ada di Desa kajen. Ada sekiat 5 madrasah di kajen yang menjadi tempat mereka menimba ilmu formal berjenjang diantaranya: Madarasah PRIMA, Madrasah Manabi’ul falah, Madrasah Salafiyah dan Madrasah Mathali’ul Falah. Meskipun pesantren memberi kebebasan dalam menentukan pilihannya namun hampir sebagian besar santri yang ada di pesantren Maslakul Huda memilih untuk menempuh pendidikan formalnya di Madrasah Mathali’ul Falah. Hal ini bukan suatu kebetulan semata namun banyak faktor yang mempengaruhinya, selain memang Maslakul Huda dan Mathali’ul Falah masih berada dalam satu atap kebijakan dibawah kepemimpinan KH.MA. Sahal Mahfudh.
Secara kurikulum dan aktifitas Maslakul Huda dan Mathali’ul Falah adalah sebuah sistem yang satu dan padu dari gagasan besar KH.MA sahal Mahfudh dalam sistem pendidikan pesantren yang beliau tawarkan. Aktifitas keduanya saling menunjang dan melengkapi bahkan secara kurikulum dan waktu pelaksanannya saling mensiasati dan menyesuaikan.
Karena sebagian besar santri Maslakul Huda adalah murid Madarasah Mathali’ul Falah kegiatan kependidiakan yang berlangsung di pesantren Maslakul Huda, selain dengan disesuaikan waktu sholat rawatib, juga disesuaikan dengan berbagai kegiatan kependidikan santri di Mathali’ul Falah.
Aktifitas santri dimulai dengan sholat subuh berjama’ah dilanjutkan belajar bersama dan mengkaji kitab kuning dengan materi ajaran tajwid dan baca Al-qur’an. setelah itu sekitar pukul 06.00 membersihkan halaman pesantren bagi yang piket dan yang lain antri mandi karena mereka harus menyesuaikan jadwal masuk Madrasah dengan menghitung waktu dan fasilitas yang ada, dari sekitar 250 santri hanya tersedia 9 kamar mandi. Disini santri secara langsung akan terlatih untuk membudayakan disiplin dan antri dalam melakukan setiap aktifitas yang mereka lakukan. Setelah itu mereka harus mengikuti kegiatan belajar di madrasah mulai pukul 07.30 sampai 12.30 dan sholat dhuhur mereka wajib berjama’ah di masjid jami’ Kajen, setelah itu mereka pulang dan makan siang.
Karena perkembangan yang terjadi di pesantren dengan berbagai aktifitas dan kesibukannya secara personal, banyak diantara santri sudah tidak lagi melakukan liwetan ( masak sendiri ), kalaupun ada jumlahnya sangat sedikit, sebagian besar mereka kost makan, dan mereka diberi kebebasan untuk memilih tempat kost. Pesantren meyediakan bagi yang berminat, selain itu ada juga yang kost makan di warung makan dan rumah masyarakat sekitar.
Hal ini merupakan salah satu bentuk kebijakan pesantren sebagai usaha membangun relasi dengan masyarakat, selain sebagai wahana komunikasi dalam rangka proses integrasi, hal ini juga bisa menjadi lahan peningkatan pemasukan ekonomi masyarakat sekitar dengan menjual jasa kepada para santri. Namun kadangkala disisi yang lain hal ini akan menimbulkan persoalan baru antara pesantren dan masyarakat ketika terjadi suatu kasus antara santri yang kost makan dengan induk semangnya atau masyarakat penyedia jasa, namun hal ini sebenarnya malah bisa menjadi wahana pelatihan santri dalam proses belajar bermasyarakat dan memecahkan masalah dengan pihak lain.
Karena mereka datang ke pesantren dengan niat untuk menimba ilmu, maka dalam rangka membatasi dan mengontrol ruang gerak serta komukasi yang berlebihan dengan masyarakat sekitar, mereka dilarang berhubungan dengan tanpa alasan yang jelas dan melebihi batas waktu yang telah ditentukan dengan istilah “nonggo”. Nonggo adalah suatu bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh santri ketika mereka berada di rumah penduduk sekitar pesantren bukan karena urusan tertentu yang diperkenankan oleh pesantren dan melebihi batas waktu yang telah ditentukan.
Setelah makan siang waktu yang ada digunakan santri untuk istirahat kecuali hari tertentu ketika ada kegiatan kerja bakti yang dilakukan dua kali dalam satu minggu atau bagi santri yang memiliki tanggungan hafalan biasanya mereka memanfaatkan waktu tersebut untuk menyepi ketempat-tempat tertentu disekitar pesantren atau ke masjid jami’ kajen dan juga makam mbah Mutamakkin untuk muroja’ah atau menambah jumlah hafalan yang harus mereka selesaikan, meskipun pada waktu Ashar mereka harus kembali ke pesantren untuk melakukan sholat berjama’ah. Selesai sholat ashar dilanjutkan dengan pengkajian kitab kuning di bidang Tasauf dan fiqih dengan jadwal sesuai tingkatan dan materi yang diajarkan.
Menjelang magrib mereka harus lagi disibukkan dan dibiasakan dengan budaya antri dan disiplin mengatur jadwal mandi biar tidak ketinggalan kegiatan selanjutnya yang menjadi kewajiban mereka. Setelah sholat magrib berjama’aah mengkaji kitab Nahwu dan Shorof, mereka makan malam setelah jama’ah sholat Isya’ dilanjutkan jam belajar ketika tidak ada kegiatan rutin seperti , pengkajian kitab, latihan khitobah, barzanji, kursus bahasa arab dan muroja’aah bagi yang memiliki tanggungan hafalan, ngaji Al-qur’an dan melakukan tugas-tugas yang dibebankan oleh madrasah.
Diluar berbagai kegiatan rutin yang diadakan di pesantren tersebut, santri masih harus melakukan kegiatan yang diadakan oleh madrasah masing-masing dimana mereka sekolah, diantara kegiatan yang dilakukan; Pramuka, Musyawaroh ( pengkajian kitab kuning ), kursus komputer, latihan sepak bola dan voly, latihan Drum Band dan terlibat dalam berbagai kepanitiaan hari besar.
Setiap santri yang akan melakukan aktifitas di luar pesantren diwajibkan izin kepada pengurus. Pada malam hari untuk menjaga dan mengkontrol keadaan dan lingkungan santri digilir untuk melakukan jaga malam yang sekaligus bertanggung jawab untuk membangunkan semua warga pesantren menjelang sholat subuh. Ada sesuatu yang unik dalam hitungan keterlambatan seorang santri ketika akan melakukan aktifitas sholat berjama’ah. Mereka harus sudah berada di dalam Mushola sebelum Adzan selesai dikumandangkan kalau sampai melewati batas tersebut mereka dianggap “kecimpung” dan akan mendapat sangsi.
Semua sangsi yang diberlakukan dalam pesantren maslakul Huda didasarkan pada niatan dan filosofi untuk mendidik sehingga sangsi yang diberlakukan tidak ada yang terlalu memberatkan meskipun dalam bentuk fisik, didalamnya mesti ada nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan, seperti; harus setor hafalan melebihi jumlah biasanya yang telah ditentukan, membersihkan WC/kamar mandi, menyapu halaman, jaga malam, pidato di depan santri lain ketika berjama’ah, jama’ah di shof paling depan dalam waktu yang ditentukan, dan lain sebagainya yang memiliki nilai-nilai disiplin dan penanaman tanggung jawab.
Ketika dalam tahap tertentu, seorang santri masih saja melakukan pelanggaran, biasanya sangsi akan ditingkatkan dalam bentuk yang lain, seperti melakukan hafalan setiap habis shubuh di dalam Ndalem ( rumah kiai ) atau disuruh buat surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi dengan meminta tanda tangan ustadz tertentu, dipindah untuk bertempat di ndalem dalam jangka waktu tertentu, kalau masih saja tidak ada perubahan orang tua mereka akan dipanggil atau dipindah ke pesantren lain dalam kurun waktu tertentu dalam rangka pembelajaran, sampai pada tahap dikeluarkan, itupun dilakukan ketika pengurus sudah benar-benar kewalahan dan tidak sanggup lagi memberikan bimbingan pada santri tersebut.
Berbagai tahapan pemberian sangsi diatas merupakan pilihan sistem yang ditempuh pesantren Maslakul Huda sebagai sebuah metode pendidikan disiplin dan penanaman tanggung jawab. Pada dasarnya santri adalah manusia merdeka yang memiliki hak untuk mendapat pendidikan oleh lembaga manapun termasuk pesantren dan pendidikan merupakan proses internalisasi dari nilai-nilai yang diajarkan melalui tranformasi dan transmisi keilmuan. Sehingga santri dalam tataran ini diasumsikan sebagai individu yang masih dalam tarap belajar dan sedang mencari sesuatu yang sesuai dan dibutuhkan, maka ketika ada santri yang nakal dan sering melakukan pelanggaran tidak lantas dikucilkan dan dikeluarkan namun sebaliknya mereka harus diberikan perhatian dan penanganan secara khusus dengan pemberian sangsi, karena mereka termasuk orang-orang khusus dalam hal ini sering melanggar. Bahkan dalam kasus tertentu seorang kiai ada yang memberikan perhatian lebih kepada santri yang nakal, hal ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan tanggung jawab dan kasih sayang, anehnya santri yang nakal tersebut biasanya akan berubah dan mulai bertanggung jawab karena menjadi perhatian kiai, pendidikan model ini dalam bahasa modern sering disebut “pedagogi” yaitu dengan mengikutsertakan keterlibatan subyek sebagai obyek pendidikan baik secara intelektual maupun emosional.
PILIHAN TEXT BOOK
Pengkajian kitab yang dilakukan di pesantren Maslakul Huda, semua pelaksanaannya disesuaikan dengan sholat rawatib dan biasanya dilakukan setelah sholat berjama’ah, hal ini merupakan sebuah strategi tersendiri karena dengan demikian santri sebagai peserta akan terbiasa untuk berkumpul dan mudah dalam pengkondisiannya. Kitab yang dikaji sepenuhnya berangkat dari keinginan dan kebutuhan santri yang biasanya disesuaikan dengan pelajaran di madrasah untuk menunjangnya atau disesuaikan dengan kebutuhan santri didalam menjawab kebutuhan aktifitasnya sehari-hari, materi yang sering dingkat adalah fiqih dan tasauf. Kompromi yang paling akhir dalam menentukan kitab ditempuh dengan menyodorkan beberapa kitab kepada kiai atau ustadz dan beliaulah yang memilih dari beberapa kitab yang disodorkan.
Fiqih dan tasauf menjadi pilihan karena dalam kehidupan sehari-hari seorang santri tidak bisa lepas dari tata cara yang mesti disesuaikan dengan ajaran dan nilai-nilai yang Islami, dan fiqih merupakan fan keilmuan dalam Islam yang membahas berbagai tata cara dan perilaku yang mesti dilakukan seorang muslim sesuai dengan syari’at Islam. Sementara tasauf mengajarkan tentang ahlak dan etika baik itu berhubungan dengan Allah sebagai sang Khaliq, manusia sebagai patner hidup secara sosial maupun dengan alam dan diri sendiri.
Pengkajian kitab ini tidak hanya berhenti saja pada pemaknaan dan pemahaman, namun lebih dari itu seorang santri dituntut untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam pengawasan pengurus dan kiai serta nmasyarakat sekitar, aktifitas pelaksanaan ajaran-ajaran yang dilakukan melalui pengkajian yang dikontrol oleh pihak luar tersebut pada tahap selanjutnya diharapkan akan menjadi kebiasaan dan tradisi serta kesadaran santri sehingga terinternalisasikan dalam diri dan menjadi karakter dalam melakukan setiap aktifitas baik personal maupun sosial.
PESAN SIMBOLIK / VERBAL
DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI PENGASUH
Pendidikan di pesantren tidak hanya berupa materi pengajaran dan pengkajian yang bersifat text book semata namun banyak hal yang secara tidak langsung menjadi materi dan obyek pemikiran dan perhatian para santri, bagaimana cara mereka bergaul dengan santri yang berangkat dari latar belakang yang sama sekali berbeda. Makna penting pesantren Maslakul Huda bagi santri tidak hanya terletak pada fungsinya sebagai lemabaga pendidikan yang telah mentransfer nilai-nilai ajaran pada mereka, tetapi juga karena sepak terjang dan keterlibatan KH.MA Sahal Mahfudh sebagai pengasuh dalam kancah pergulatan nasional baik dalam bidang pendidikan maupun politik. Karakter dan corak pemikiran serta sikap kiai dalam wilayah publik secara tidak langsung menjadi sebuah materi pendidikan yang sangat berpengaruh dan mewarnai sikap dan pemikiran para santri sehingga seringkali kita akan mendapatkan seseorang yang pernah “nyantri” mudah dikenali dan diukur, baik dari segi keilmuan dan pemikirannya dari asal pesantren dan pengasuhnya.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari effek sebuah sistem pendidikan model pesantren, dimana fungsi dan tujuan dari berlakunya pendidikan pesantren adalah penanaman dan pembentukan karakter yang dilakukan secara terus menerus, terencana dan terkontrol dalam bentuk pengawasan pondokan/asrama yang dilakukan selama 24 jam penuh. Masih lagi ditambah pengaruh dari nilai-nilai yang diajarkan yang didalamnya terdapat materi yang menjadikan mereka punya pemikiran dan perilaku bercorak tertentu, karena memang di pesantren terhadap penghormatan terhadap senioritas dan keilmuan. Pendidikan pesantren mengasumsikan terjadinya keseimbangan antara penerimaan materi dan praktek secara sosial, seorang santri akan secara langsung melaksanakan setiap ilmu yang baru diterimanya dalam kehidupan sehari-hari, karena lingkungan dan budaya di pesantren menuntut demikian dalam pengawasan yang sangat ketat melalui berbagai aturan baik tertulis yang berbentuk tata tertib maupun yang tidak tertulis berbentuk tradisi dan budaya.
Sikap dan perilaku santri sangat tertib dan terkontrol, bagaimana mereka harus mampu menyesuaikan diri untuk hidup tanpa menggantungkan pada orang lain dan mesti melakukan setiap aktifitasnya dengan berdiri diatas kaki mereka sendiri, secara langsung mereka akan dihadapkan pada kehidupan komunal yang mesti menghitung banyak hal diluar dirinya baik itu berhubungan dengan, ekonomi, sosial, budaya bahkan politik. Sederhananya mereka akan terlatih secara nyata untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan banyak pihak, teman, ustadz, pengurus dan masyarakat sekitar pesantren selama 24 jam.
Diluar itu mereka juga terus berhadapan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, pengasuh seringkali dalam setiap sambutannya di berbagai kesempatan tidak pernah lupa memberikan wejangan dan menyampaikan perkembangan aktual yang terjadi di luar pesantren, baik itu menyangkut isu-isu sosial, budaya, ekonomi dan politik, beliau selalu memberikan wawasan dan masukan wacana sehingga santri tidak lagi, gumunan, kagetan dan telat dalam mengakses perkembangan mutakhir.
Kiai sebagai pengasuh dalam kehidupannya sehari-hari baik dalam lingkup internal di pesantren ataupun secara ekternal di luar pesantren menjadi barometer tersendiri bagi segenap santri maslakul Huda, bagaimana cara beliau bersikap, berperilaku dan berpolitik. Dalam setiap kesempatan kiai tidak segan-segan dan selalu mengingatkan, bahwa setiap manusia tidak akan pernah bisa lepas dan menghindar dari jaring yang namanya politik, namun demikian bukan berarti harus terjun dan terlibat langsung dalam kancah politik praktis. Politik bagi kehidupan adalah sunnatullah, berpolitik sudah barang tentu dan tidak berarti harus secara vulgar dan pragmatis.
Perilaku dan sikap kiai dalam berbagai hal secara tidak langsung menjadi materi pendidikan bagi segenap santri, dawuh beliau adalah kaweruh dan sikap beliau adalah tuntunan bagaimana seharusnya manusia bersikap dan berperilaku. Ketika pengurus atau santri melakukan suatu kesalahan, kiai sebagai pengasuh tidak akan langsung menegur dan membenarkannya, namun beliau akan berubah sikap sehingga santri akan tanggap bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan dan kiai akan kembali berpeilaku seperti biasa ketika santri telak introspeksi dan membenahi kesalahannya. Kiai dalam menanamkan disiplin kepada para santri sangat ketat dan tegas, sebuah contoh ketika beliau akan mengimami sholat berjama’ah ketika masih ada santri yang terlambat dan belum siap beliau akan kembali dan tidak jadi mengimami.
Dalam setiap prolog sebelum rapat yang beliau hadiri tidak ada yang namanya pendiktean apalagi arogansi dan otoritas tunggal sebagai pimpinan pedantren, beliau hanya memberikan gambaran secara umum akan sesuatu yang mesti dilaksanakan, semua pilihan dan keputusan sepenuhnya ditangan santri melalui mekanisme yang telah disepakati, dalam wilayah ini kiai hanya bertindak sebagai motivator dan supervisor dalam keberlangsungan sistem pendidikan pesantren Maslakul Huda.
Kebebasan yang bertanggung jawab, nalar kritis dan kreatif selalu beliau hembuskan melalui angin demokrasi dalam kepemimpinan pesantren lewat berbagai forum baik itu ketika mengkaji kitab kuning maupun setiap kesempatan sambutan beliau, sama sekali tidak ada kesan otoriter dan centralistik dalam pengambilan setiap kebijakan, semuanya ditempuh melalui proses dan prosedur yang berlaku.
Watak beliau yang disiplin, tekun, sederhana dalam hal materi, tegas sekaligus lentur dalam menentukan setiap persoalan fiqih, pluralis, egaliter, idealis namun realistis, demokratis, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi santri ditengah carut marut kehidupan bangsa seperti ini. Lepas dari ketidaksempurnaan seorang manusia, beliau adalah figur penyuluh ditengah hutan gelap belantara kebodohan.
Kesibukan kiai karena berbagai jabatan aktifitasnya sedikit banyak mempengaruhi kesempatan para santri untuk berinteraksi dengan beliau. Hampir dapat dipastikan sekali dalam seminggu beliau harus pergi keluar kota dalam rangka memenuhi panggilan tugasnya sebagai seorang tokoh NU sekaligus tokoh bangsa. Namun hal ini tidak menyurutkan sedikitpun perhatian dan kecintaan beliau terhadap santri dan pesantrennya, beliau selalu menyempatkan ketika ada acara-acara khusus ketika dibutuhkan kehadirannya oleh santri, bahkan untuk membuktikan semua itu kiai menyempatkan waktu khusus di bulan ramadlan sepenuhnya untuk berinteraksi baik secara fisik maupun intelektual dengan para santrinya melalui pengkajian kilatan mulai pagi sampai menjelang sore hari selama satu bulan penuh, bahkan setiap ramadlan beliau menyempatkan sholat berjama’ah tarawih al-qur’an yang diimami oleh santri senior, ini sebagai bukti nyata bahwa beliau sangat menghormati keilmuan dan kapasitas seseorang tanpa melihat statusnya, sebagai seorang kiai dan pengasuh beliau rela menjadi makmum kepada santrinya. Kegiatan ramadlan ini membuat beliau harus menolak setiap kegiatan diluar pesantren.
Dalam pengkajian kitab di bulan ramadlan tersebut, kiai mencurahkan seluruh perhatian dan waktunya untuk memberikan siraman rohani dengan membahas berbagai masalah yang tertulis dalam kitab kuning kalsik dengan mengkontektualisasikan pada berbagai persoalan sosial mutakhir yang terjadi, di setiap pemaknaan beliau selalu merefleksikan dengan berbagai kejadian sosial, mulai ekonomi,budaya dan politik.
Satu hal yang unik dilakukan oleh kiai, beliau sering menggunakan bahasa-bahasa populer di dalam memaknai kitab kuning, sehingga selain santri harus faham tentang penafsiran dan aturan baku pemaknaan kitab kuning santri juga dituntut untuk faham dan senantiasa menambah wawasannya tentang istilah-istilah populer mutakhir. Meskipun sebaliknya kiai dalam setiap tulisan ilmiahnya sering menggunakan bahasa arab untuk menjelaskan ide dan gagasannya. Hal ini menjadi pelajaran tersendiri bagi para santrinya untuk menguasai bahasa asing sekaligus tidak perlu minder dalam mempopulerkan bahasa arab.
a. Sistem Presidium
Dari sekian pesantren yang ada di Desa Kajen, Maslakul Huda memiliki ciri Khas dalam methode pendidikan dan pengkaderannya. Lazimnya disebuah pesantren struktur kepengurusan berada langsung di bawah kontrol dan kendali pengasuh yang biasanya memakai sistem sentralistik dengan kepengurusan model; ketua pondok atau lurah pondok. Sistem ini mengasumsikan ketua atau lurah pondok berperan sebagai penanggung jawab operasional dari berlangsungnya kegiatan yang dilakukan pesantren, sementara kebijakan penuh dan pengambilan keputusan masih ditangan kiai sebagai pengasuh. Pesantren Maslakul Huda berbeda, sistem yang digunakan bukan ketua pondok ataupun lurah pondok,meskipun dalam fungsi dan tanggung jawabnya ada yang berperan dalam posisi tersebut. Presidium adalah bentuk yang diidealkan oleh pesantren Maslakul Huda dalam mendidik santri berorganisasi dan bermasyarakat.
Dengan sisitem ini kewenangan bisa dikatakan sepenuhnya berada di tangan santri, pengasuh hanya berperan sebagai motivator dan supervisor itupun dalam sistuasi tertentu yang memang memungkinkan atau mengharuskan melakukan langkah-langkah tersebut. Presidium diberikan kebebasan penuh yang bertanggung jawab di dalam mengelola keberlangsungan roda kepengurusan yang menggerakkan semua bentuk aktifitas. Bahkan dalam keadaan tertentu presidium akan dibiarkan ketika meminta pemecahan masalah kepada pengasuh, hal ini dilakukan supaya presidium sebagai pengurus untuk selalu berihtiar mencari jawaban dari masalah yang dihadapi, mereka mesti kreatif dan inovatif didalam menghadapi setiap masalah.
Presidium terdiri dari 7 santri senior yang terdiri dari; Presidium I 2 orang, Presidium II 2 orang, Presidium III 2 orang dan satu ketua predidium yang menjabat sebagai koordinator, setiap presidium terdiri dari 2 orang yang sekaligus menjabat sebagai ketua dan wakil. Presidium I menempati fungsi sebagai ketua, Presidium II sebagai sekertaris dan presidium III berperan sebagai keamanan. Senioritas dalam pemilihan anggota presidium bukan dihitung dari lama seorang santri menempuh pendidikan pesantren ataupun dilihat dari tuanya umur namun senioritas disini selain dibatasi harus sudah menempuh tingkatan Aliyah juga harus memiliki berbagai trake record dan kredit point sebagai aktifis di berbagai jenjang pengkaderan yang ada di pesantren Maslakul Huda.
Dalam sistem ini berlaku regulasi, dimana tiga jabatan presidium yang ada dibawah koordinasi ketua presidium setiap 4 bulan sekali dalam satu periode kepengurusan akan mengalami pergeseran. Pergeseran ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan wawasan dan pengalaman keorganisasian supaya keenam orang yang ada dalam presidium mengalami posisi; ketua, sekertaris dan keamanan dengan berbagai tanggung jawab dan problematika yang dihadapi selama satu periode kepengurusan. Pengkaderan dan pelatihan di maslakul huda memang fokus dalam arti santri tertentu yang menjabat presidium dalam kepengurusan setiap periodenya benar-benar dibekali berbagai kemampuan dan pengalaman melalui sistem regulasi ini.
Mekanisme pemilihan presidium sepenuhnya menjadi hak pengurus, dalam setiap akhir kepengurusan mereka akan melangsungkan rapat umum yang terdiri dari semua unsur yang ada di pesantren maslakul Huda untuk melakukan evaluasi akhir sekaligus akan dilanjutkan pemilihan anggota presidium yang terdiri dari 7 orang. Semuanya dilaksanakan secara terbuka yang didahului dengan pengajuan beberapa calon yang layak melalui berbagai uji kelayakan dan pengalaman, feet and propertest, apakah seorang santri mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut. Uji kelayakan tidak hanya ditinjau dari kemampuan intelektual dan kepandaiaan dalam berorganisasi, namun pertimbangan kecerdasan dalam wilayah spiritual dan emosional menjadi perhitungan penting termasuk kedewasaan dalam bidang moral dan sosial. Bahkan seringkali seorang santri gagal untuk dicalonkan menjadi anggota presidium ketika dia cacat dalam wilayah SQ. EQ dan moral etis meskipun dalam pengalaman organisasi dan intelektual mengatasi yang lain. Hal ini menjadi pelajaran tersendiri di kalangan santri, bahwa kecerdasan intelektual bukanlah segala-galanya, seorang manusia selain cerdas ditiuntut untuk arif dan bijak secara spiritual dan emosional, karena kecerdasan intelektual tanpa dilandasi keduanya akan menjadi anarkhi.
Dari ketuju anggota presidium yang terpilih akan diambil 3 orang untuk diajukan kepada pengasuh yang kemudian akan dipilih menjadi ketua presidium. Proses ini juga melalui penyaringan yang ketat dan rigid, dengan mempertimbangkan berbagai hal termasuk kemungkinan ketiganya bisa bekerjasama dengan pengasuh dalam kinerja selanjutnya. Selain itu langkah ini juga dimaksudkan sebagai jalan tengah untuk memberikan sedikit kebebasan kepada pengasuh dalam memilih pembantunya dalam menggerakkan roda kepengurusan pesantren Maslakul Huda. Disana ada nilai demokrasi dan keseimbangan, antara hak pengurus dalam menentukan mekanisme keorganisasiannya dan hak pengasuh yang notabene sebagai pemilik lembaga dalam memilih patner dan pembantunya. Nilai tersebut sangat dalam maknanya sebagai penghormatan dan penanaman nilai-nilai demokrasi, apalagi ditengah-tengah lembaga pesantren seperti ini.
Model sistem seperti ini, presidium, senioritas dihitung dari track record dan kredit point aktifitas dan keorganisasian, pemilihan langsung dan terbuka oleh santri, penanaman nilai-nilai demokrasi menjadikan nuansa kompetisi dan politis berlangsung di Maslakul Huda secara fair dan dapat dinikmati serta diikuti oleh semua pihak. Seorang santri yang mempunyai nalar dan potensi seorang aktifis akan berhitung dan menumpuk batu pengalaman untuk panjatan ke jenjang yang prestisius menjadi anggota presidium.
Demokratisasi
Demokratisasi yang berlangsung di pesantren Maslakul Huda tidak hanya berlaku di dalam pemilihan anggota dan penentuan ketua presidium, namun di semua lini dan unsur yang ada di dalamnya. Demokrasi telah menjadi pilihan sadar dan ideal dari keberlangsungan pesantren Maslakul Huda, ia telah mengurat nadi dalam setiap mekanisme keorganisasian. Menalar dalam benak kepengurusan, bahwa ketunggalan dan kejumudan dalam hal apapun akan menafikan banyak hal yang lain yang sekaligus akan membunuh potensi yang dihasilkan oleh pluralisme. Padahal perbedaan adalah sunnatullah dan perlu dikelola sedemikian rupa supaya menjadi energi yang besar dan bermanfaat.
Santri sepenuhnya diberikan kebebasan berekspresi dan berkreasi selama masih dalam koridor tanggung jawab. Kebebasan itu disatu sisi berarti sebagai kepercayaan yang diberikan oleh pengasuh selaku pimpinan untuk dilaksanankan dan dimaknai secara arif dan bijak. Santri sepenuhnya sebagai pemegang keputusan setiap apa yang ingin dilakukannya. Pendidikan model ini ditempuh sebagai upaya untuk menjadikan santri bukan hanya sebagai obyek dari proses yang berlangsung, namun sebaliknya santri ditempatkan sebagi subyek yang bertanggung jawab sepenuhnya dari apa yang menjadi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan bukan berarti menuruti setiap keinginan, karena seringkali keinginan yang menjadi obsesi merupakan sesuatu yang belum tentu menjadi sebuah kebutuhan.
Semuanya dilakukan melalui mekanisme keorganisasian dengan musyawaroh dan mufakat, sangat jarang dan kemungkinannya sangat kecil sekali dalam setiap rapat yang diadakan oleh pengurus berakhir dengan pilihan Votting, pengambilan suara terbanyak. Meskipun dalam proses tersebut sering terjadi perdebatan yang teramat sengit yang kadang menyulut ketegangan, tidak hanya dalam adu argumentasi namun juga kadang sampai menggebrak meja dan lempar gelas. Langkah Votting kalaupun diambil biasanya hanya ketika penentuan santri yang akan menduduki jabatan anggota presidium, itupun ketika sulit untuk mencari perbedaan dalam potensi dan kapasitas seorang calon.
Dalam mekanisme yang berlangsung di pesantren maslakul Huda tersebut, kiai sebagai pengasuh dan pimpinan pesantren sama sekali tidak ikut campur tangan, apalagi mempengaruhi proses yang berlangsung, semuanya berjalan alami dan sesuai dengan aturan main yang ada. Kiai hanya memberikan wejangan dan masukan sebelum acara rapat dimulai, itupun kadangkala diwakilkan kepada pembantu pengasuh. Pengasuh dalam mekanisme ini hanya memilih ketiga calon yang diajukan oleh forum rapat pengurus.
Sistem demokrasi sepenuhnya mengandaikan keterlibatan semua pihak untuk ikut terlibat dalam menentukan setiap kebijakan yang akan diambil yang menyangkut hajat orang banyak. Sistem ini juga mengidealkan keberadaan wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya ditangan para santri, kepengurusan dari santri oleh santri dan untuk santri. Sistem ini dapat diberlakukan di pesantren Maslakuk Huda banyak faktor yang mendukung, dan faktor yang paling utama adalah Good Will dari kiai sebagai pengasuh dan pimpinan pesantren yang telah dengan sadar dan sungguh-sungguh dalam menerapkannya, karena dengan berlakunya demokratisasi ini sedikit banyak akan mengurangi hak pengasuh, namun semua itu sudah menjadi niatan beliau untuk menjadikan pesantren sebagai wahana pendidikan alternatif dan mendorong kreatifitas dan inovasi santri dalam berbagai bidang dengan nalar demokrasi. Karena menurut beliau pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang dapat menciptakan peserta didik menjadi insan yang kreatif, kritis dan mandiri, sehingga dengan kemandirian, kreatifitas dan daya kritisnya tersebut peserta didik akan dengan sendirinya mencari dan mencipta bukan menunggu.
Pembuatan kurikulum, anggaran, evaluasi, problem solving
Berangkat dari sebuah kesadaran bahwa pendidikan yang paling ideal adalah pendidikan yang dapat menciptakan peserta didik menjadi insan yang kreatif, kritis dan mandiri serta sudah seharusnya mereka dianggap sebagai individu yang merdeka dan tidak dipandang sebagai obyek namun sebaliknya mesti ditempatkan dalam kapasitas sebagai subyek, pesantren Maslakul Huda sampai dalam wilayah pembuatan kurikulum dan anggaran pendidikan sepenuhnya menyerahkan dan menurut kebutuhan mereka yang diputuskan melalui rapat pengurus.
Langkah ini ditempuh sebagai upaya konkret untuk mendidik santri sebagai peserta didik supaya berlatih merencanakan dan mengatur serta mengetahui setiap keinginan yang dibutuhkannya. Pembuatan kurikulum dan anggaran pendidikan ini menyangkut semua hal yang berkenaan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan materi dan ajaran yang akan diterapkan sebagai program pesantren selama satu periode, dalam kasus ini pengasuh sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada santri untuk meramu dan mempersiapkan setiap kebutuhannya tanpa sedikitpun didekte atau dipengaruhi oleh pengasuh sebagai pimpinan pesantren.
Proses pembuatan kurikulum pendidikan ini dilakukan secara seksama dengan menyerap aspirasi santri melalui rapat pengurus, materi yang dibuat mulai dari kitab apa yang akan dikaji dan ustazd siapa yang akan menghantarkan sampai pada dengan metode yang akan digunakan. Semua program selama satu periode direncanakan dengan memperhatikan hasil evaluasi periode sebelumnya, ketika ada program kegiatan yang masih bermanfaat dan memang dibutuhkan oleh santri akan tetap dipertahankan sekaligus melihat perkembangan kebutuhan yang terjadi, malahan bisa jadi ada program yang bersifat temporal dan insidental seperti pelatihan dan peningkatan skill dalam bidang tertentu yang biasanya berbentuk kursus singkat.
Selain itu pendidikan dengan sistem kemandirian pesantren Maslakul Huda juga terlihat dlam penyusunan anggaran belanja dan pendapatan semuanya dilakukan sepenuhnya oleh santri, pesantren hanya melakukan koordinasi dan konsolidasi. Bahkan dalam penyusunan ini mereka harus mampu membuat anggaran yang akan dibutuhkan dalam satu periode dengan mengacu pada kurikulum pendidikan yang telah diprogram. Mereka yang menyusun anggaran mereka juga yang mengelolan dan melakukan penarikan jariah/SPP setiap satu kwartalnya. Penyusunan anggaran keuangan ini harus rigid dan tepat karena mereka harus bisa mempertanggungjawabkan dengan melaksanakan semua program yang telah disusun, salah dalam merancang anggaran berarti saldo min yang mesti ditanggung dan ini berarti mereka harus melakukan penyesuaian lagi terhadap program yang telah direncanakan.
Hal ini menarik karena jarang sebuah lembaga pendidikan memberikan kewenangan di dalam pembuatan kurikulum, yang seringkali terjadi dalam proses pendidikan adalah sistem doktrinasi atau top down, dimana peserta didik hanya diletakkan sebagai bagian dari sistem dan obyek semata yang diberlakukan secara atomis. Proses pendidikan bahkan kerapkali dipergunakan sebagai upaya untuk melanggengkan struktur kekuasaan dengan mempertahankan ideologi dan hegemoni penyelenggara pendidikan.
Sementara dalam evaluasi, pengurus melakukan beberapa tahapan ada evaluasi yang bersifat insidentil dan spontan ketika ada permasalahan yang segera dipecahkan dengan melakukan rapat gabungan atau koordinasi. Namun secara mekanis dalam sistem yang diterapkan di pesntren Maslakul Huda evaluasi dilakukan secara periodik dan berksinambungan selama periode kepengurusan. Evaluasi biasanya dilakukan secara formal melalui rapat pengurus. Dalam evaluasi dilakukan inventarisasi persoalan yang timbul sekaligus melakukan problem solving, dalam banyak kasus pengurus sebisa mungkin menyelesaikan setiap persoalannya sendiri tanpa meminta bantuan pembentu pengasuh apalagi pengasuh, kecuali dalam kasus-kasus tertentu ketika persoalan sudah dianggap mentok dan memerlukan kebijakan yang lebih kuat maka baru diajukan kepada pengasuh itupun seringkali ketika pengasuh menganggap masih dalam tataran bisa dicari jalan pemecahannya pengasuh tidak akan memberi jawaban hingga pengurus dapat menyelesaikannya sendiri.
Metode ini sangat penting, dimana santri dididik untuk kreatif dan inovatif serta mandiri dalam merencanakan, melaksanakan dan menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapinya, secara menyeluruh sistem dan metode yang diterapkan di pesantren Maslakul Huda melatih dan membentuk karakter santri yang mempunyai kemampuan baik dalam hal agama sekaligus sosial, sehingga ketika mereka nantinya terjun di masyarakat tidak gamang dan mampu membaur serta ikut serta dalam pergumulan sosial yang terjadi. Sistem dan metode pesantren Maslakul Huda tidak hanya memungkinkan santri untuk belajar ilmu agama an sich namun sekaligus, cara bermasyarakat dan berpolitik melalui berbagai program dan aktifitas yang dilaksanakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar