Rabu, 08 Februari 2012
Jumat, 17 Juni 2011
Kajen Polgarot
Polgarot merupakan wilayah yang berada di bagian barat Desa Kajen.
Polgarot juga dijadikan nama jalan atau gang polgarot, yang menghubunggkan dengan jalan raya Pati-Tayu KM 18.
Adapun sejarahnya tentang asal usul Polgarot, yaitu.
Pada zaman dahulu ada pohon yang bernama pohon gempol (pol), yang berada disekitar makam KH. Abdullah Salam. Pohon tersebut ada bekas goresan (blarut/garut) dari kaki seekor macan.
Hingga sekarang ini nama untuk polagrot, masih digunakan oleh masyarakat Desa Kajen
Polgarot juga dijadikan nama jalan atau gang polgarot, yang menghubunggkan dengan jalan raya Pati-Tayu KM 18.
Adapun sejarahnya tentang asal usul Polgarot, yaitu.
Pada zaman dahulu ada pohon yang bernama pohon gempol (pol), yang berada disekitar makam KH. Abdullah Salam. Pohon tersebut ada bekas goresan (blarut/garut) dari kaki seekor macan.
Hingga sekarang ini nama untuk polagrot, masih digunakan oleh masyarakat Desa Kajen
LATAR BELAKANG PESANTREN POTRET SOSIAL-GEOGRAFIS DESA KAJEN
LATAR BELAKANG PESANTREN POTRET SOSIAL-GEOGRAFIS DESA KAJEN Kajen merupakan contoh potret desa yang unik dan menarik, lazimnya sebagai sebuah desa Kajen tidak memiliki sawah. Disana kehidupan bisa dikatakan maju dari segi pendidikan karena memang Kajen terkenal dengan sebutan “Kampung Santri” yang memiliki 24 pesantren dan lebih dari 5 sekolahan madrasah. Untuk hitungan sebuah desa catatan ini sangatlah mengagumkan. Disamping populer dengan predikat atau julukan “kampung Santri” dan menjadi obyek ziarah umat Islam dari berbagai daerah, di desa ini pernah hidup orang suci bernama Syech K.H Ahmad Mutamakkin ( Mbah Mutamakkin ), cikal bakal keberadaan desa Kajen.
Kajen merupakan contoh potret desa yang unik dan menarik, lazimnya sebagai sebuah desa Kajen tidak memiliki sawah. Disana kehidupan bisa dikatakan maju dari segi pendidikan karena memang Kajen terkenal dengan sebutan “Kampung Santri” yang memiliki 24 pesantren dan lebih dari 5 sekolahan madrasah. Untuk hitungan sebuah desa catatan ini sangatlah mengagumkan. Disamping populer dengan predikat atau julukan “kampung Santri” dan menjadi obyek ziarah umat Islam dari berbagai daerah, di desa ini pernah hidup orang suci bernama Syech K.H Ahmad Mutamakkin ( Mbah Mutamakkin ), cikal bakal keberadaan desa Kajen.
Sebagaimana diketahui banyak orang, desa yang tidak mempunyai sawah itu menyimpan sejarahnya yang panjang. Meskipun tidak mempunyai sawah seperti desa-desa yang lain, namun secara ekonomi masyarakat kajen bisa dikatakan kecukupan. Bahkan setiap tahunnya peningkatan itu dapat disaksiskan dan dirasakan. Keberadaan masyarakat Kajen tertopang dengan mukimnya ribuan santri yang berdatangan dari berbagai penjuru Indonesia, mereka datang untuk merasakan sejuknya desa Kajen dan ramainya kegiatan tholabul ‘ilmi.
Bau menyengat hidung adalah kesan pertama kali bagi para pendatang ketika memasuki desa kajen, karena memang daerah ini dialiri sungai tempat pembuangan limbah tapioka desa ngemplak yang membelah desa dari arah barat ke timur menuju ke muara laut bulumanis. Bau limbah itu bagi masyarakat desa telah menjadi bagian dalam hidupnya, seakan mereka sudah kebal dan tak perlu menghiraukannya lagi. Selain suasananya yang sejuk dan damai, desa ini identik dengan keberadaan bangunan-bangunan yang dihuni oleh banyak santri mukim yang lebih dikenal dengan nama pesantren. Secara sosiologis desa kajen merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh penduduk yang bercorak homogen, yang sebagian besar masyarakatnya memeluk dan meyakini ajaran Islam sebagai dasar dalam perilaku hidup sehari-hari.
Karena kondisi wilayahnya yang tidak memiliki areal persawahan, masyarakat kajen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya bertopang pada perniagaan dan mengerjakan lahan milik desa sekitar. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sangat memegang norma-norma sosial baik itu yang tertulis seperti yang dianjurkan dalam ajaran agama Islam atau norma yang bersifat konvensional, seperti dilarang membuat keonaran dan mencoreng nama baik desa dan leluhur. Dalam pelaksanaan norma-norma tersebut kesadaran masyarakat lebih didorong oleh ketaatannya kepada kiai yang memang dalam penerapan sebuah kebijakan baik itu yang bersifat formal ataupun informal lebih efektif dibanding birokrasi setempat. Karena kiai dalam masyarakat kajen selain memiliki nilai historis yang panjang dalam sejarah masa lalunya, juga menempati posisi terpenting sebagai salah satu unsur dalam struktur sosial masyarakat kajen. Dalam sejarahnya birokrasi pemerintahan desa terlihat subordinat terhadap para kiai, selain kurang berfungsinya pamong desa dalam kegiatan kemasyarakatan, hal ini juga dikarenakan masyarakat masih percaya betul bahwa figur seorang kiai mampu untuk digugu dan ditiru dalam melaksanakan aktifitas kehidupan sehari-hari.
Secara geografis, desa kajen berada di wilayah pati sebelah utara, tepatnya di lembah sebelah timur gunung muria, menghampar ke arah barat dari pantai bulumanis yang landai dengan kesuburan tanah yang cukup. Desa ini berdiri diketinggian sekitar 300 m dari permukaan laut dengan hawanya yang sejuk penuh rindangnya berbagai tumbuhan dan jernihnya mata air murni, yang dalam situasi tertentu kedalaman 1,5 meter sudah memancarkan sumber air . Jarak 18 km dari kota pati kearah utara desa ini akan kita jumpai, tepatnya di kecamatan Margoyoso. Dengan luas wilayah yang hanya sekitar 63 hektar dengan penduduknya yang padat, menjadikan sebagian besar desa ini berupa pekarangan yang ditanami ketela dan pohon kelapa seluas hampir 4 hektar yang berada sekitar rumah penduduk.
Kondisi ini mengakibatkan penduduk desa kajen mesti memutar otak untuk mencari lahan penghidupan, dengan tuntutan itu akhirnya mereka melakukan aktifitas ekonomi dalam bidang, perdagangan, jual jasa, dan menjadi buruh tani dan pabrik tapioka di desa seberang. Atau bagi sebagian penduduk yang memiliki kapital dan masih ingin melakukan kerja di bidang pertanian berusaha menyewa sawah di desa sekitar kajen atau membuka usaha pemenuhan kebutuhan para santri.
Saat ini ada 26 pesantren dan ribuan santri yang bertholabul ilmi di desa kajen, dagang dan jual jasa menjadi lahan bisnis yang menjanjikan, bahkan bisa dipastikan disekitar setiap pesantren yang ada di kajen berdiri minimal, warung makan dan toko kelontong. Dengan konsumen yang tetap dan berjumlah besar, warung makan dan toko kelontong mengalami perkembangan yang pesat dan lebih dari cukup untuk sekedar menopang kebutuhan hidup sehari-hari.
Ditengah desa kajen, berdiri sebuah bangunan sebagai pusat administrasi pemerintahan desa atau balai desa, letaknya tepat disebelah selatan masjid besar desa kajen dan arah timur makam syech Ahmad Mutamakkin, tokoh religius desa kajen yang dikeramatkan dan menjadi cikal bakal adanya desa ini. Meski setiap harinya tidak begitu difungsikan, balai desa saban tahunnya pada bulan muharrom tgl 10 menjadi pusat informasi dan kegiatan masyarakat, yaitu ritual yang ditungu-tunggu setiap warga desa dan menjadi agenda rutin tahunan, haul syech Ahmad Mutamakkin.
Kegiatan administrasi desa tidak efektif dan cenderung vakum kecuali pada momen-momen tertentu, hal ini dikarenakan oleh kondisi desa kajen, sebagai sebuah pedesaan kajen tidak memiliki bengkok atau bondo desa, akhirnya pamong desa hanya digaji sekedarnya dengan jumlah yang sangat minim, hal ini menjadikan jabatan itu sekedar kerja sambilan bagi orang yang mendudukinya, sehingga warga kurang berminat untuk menjadi pamong desa. Kalau tidak lowong, pernah carik mesti merangkap menjadi pejabat sementara lurah desa mulai tahun 1986 sampai pada tahun 1998 dan baru pada akhir tahun itu diadakan pemilihan lurah.[1]
Selain karena faktor sejarah, desa kajen pernah menjadi tanah perdikan, tidak efektifnya struktur dan kinerja administrasi desa menjadikan pengaruh kekuasaan pemerintah pusat sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Meskipun pendapatan desa hanya bertumpu pada pemasukan peringatan khaul syeh Ahmad Mutamaakin setiap 10 muharrom pada tiap tahunnya, kemakmuran dan kemajuan desa ini melebihi desa-desa sekitarnya.
Keberadaan pesantren sebagai pusat studi keislaman dan da’wah menjadikan kajen identik dengan sebutan “Kampung santri”, keunikan ini terlihat setiap hari terutama pada pagi dan sore hari berbondong-bondong para santri menyebar menyusuri jalan desa menuju tempat-tempat pendidikan. Setiap saat hampir diseluruh pelosok desa akan mudah ditemui sosok santri yang populer dengan sebutan kaum sarungan ini. Kemanapun mereka pergi dan berada di wilayah ini dapat dipastikan mengenakan sarung dan peci sebagai sebuah identitas yang melekat pada dirinya. Seakan ada semacam tuntutan yang menjadikan mereka harus menggunakannya dan ada perasaan malu dan bersalah ketika tidak memakainya.
Di waktu gelap dalam keremangan malam yang khusuk terdengar sayup menghampiri gendang telinga setiap penghuninya, suara-suara merdu yang mengalunkan lantunan melafalkan kalam ilahi, apalagi setiap malam jum’at disebuah bangunan yang berada ditengah Desa berbondong-bondong santri dan masyarakat sekitar datang untuk membaca yasin dan tahlil bermunajad dan wasilah dimakam Syech Ahmad Mutamakkin, tokoh perintis Desa yang dianggap masyarakat sekitar sebagai seorang kekasih Allah ( Waliyullah ).
Ritual ini tidak hanya bernilai religius dan ilahiah, karena sekarang keberadaan Makam selain menjadi pusat ibadah dan kegiatan keagamaan bagi santri dan masyarakat setempat juga mendatangkan rezeki dengan berjalannya kegiatan ekonomi di sekitar Makam. Berderet bangunan permanen yang menyediakan berbagai kebutuhan dan souvenir bagi para peziarah, mulai dari penjual makanan dan minuman sampai penjual buku, peci dan keperluan komunikasi dengan adanya wartel. Perkembangan ini mendatangkan berkah tersendiri bagi masyarakat sekitar kajen, mereka dapat menggantungkan rezeki dari para peziarah yang datang setiap hari dan mulai ramai di malam jum’at.
Keramaian itu meningkat dan mencapai puncaknya setiap malam 10 syuro dengan diperingatinya Haul Syech Ahmad Mutamakkin, ritual ini sudah menjadi agenda tahunan dan ceremonial bagi masyarakat wilayah ini dan sekitarnya, bahkan peziarah setiap tahunnya terus meningkat dari berbagai penjuru Indonesia. Ritual ini diisi dengan berbagai agenda kegiatan oleh panitia, yang dimulai pada tanggal 8 Syuro pada jam 20.00 WIS [2] dengan pembacaan Burdah ( pembacaan syair-syair yang berisi tareh Nabi Muhammad S.A.W), dilanjutkan pada tanggal 9 Syuro pada jam yang sama Tahlil Muqoddimah untuk umum dengan mendo’akan para leluhur dan nenek moyang dan pagi harinya diteruskan dengan ritual yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak yaitu acara buka selambu dan acara pelelangan. Dan pada tanggal 10 Syuronya pada jam 19.00 WIS diisi dengan acara Tahtimul Qur’an bin Nadlor ( Khataman Al-Quran dengan membaca Kitabnya ) diteruskan dengan Tahlil Haul pda jam 20.00 WIS baru pada malam berikutnya tanggal 11 Syuro ritual acara ditutup dengan manaqib pada jam 19.30 WIS.
Dari sekian agenda yang dilangsungkan setiap tahunnya yang menjadi puncak dan acara yang selalu dinanti-nantikan adalah buka kelambu yang dilanjutkan pelelangan, acara ini menjadi perhatian banyak pihak mulai dari para santri, tokoh-tokoh kiai, masyarakat setempat dan sekitar daerah Pati, bagi yang berminat mengikuti acara ini mesti rela untuk datang pagi-pagi sekitar jam 06.00 WIS, karena satu jam menjelang acara yang dimulai pukul 08.00 WIS tempat acara yang dilangsungkan di serambi makam Syech Ahmad Mutamakkin bagian timur telah padat penuh sesak para pengunjung. Acara ini pada intinya adalah mengganti berbagai kain yang digunakan untuk menutupi dan menghiasi Makam Syech Ahmad Mutamakkin, mulai dari layar yang menutupi kaca Makam bagian dalam sampai pada kain mori yang digunakan untuk penutup “patok”, kegiatan ini menarik, karena layaknya sebuah kain harga yang di tawar dalam lelang melebihi harga yang semestinya, hal ini wajar bagi masyarakat sekitar, karena acara ini diadakan setahun sekali selain kain itu merupakan kain yang digunakan menutup dan menghiasi Makam orang suci, bagi kepercayaan masyarakat kain tersebut mengandung tuah dan akan mendapatkan berkah bagi orang yang memakainya.
Selesai pelelangan ada acara yang telah menjadi adat dan tergolong unik, yaitu diadakannya makan bersama antara masyarakat umum, santri dan para tokoh kiai setempat di dalam satu “tapsi” atau nampan, mereka dibiarkan berebut tempat untuk membaur bersama. Hal ini menunjukkan bersatu dan padunya antara masyarakat dan para tokoh kiai setempat, dan begitulah semestinya antara pemimpin dan yang dipimpin. Pernah ada sebuah kejadian yang diceritakan oleh seorang kiai muda Desa Kajen yang pada saat itu melarang masyarakat yang ikut nimbrung dengan Mbah Abdullah Salam ( Mbah Dullah ) dengan memukul tangannya ketika akan mulai makan bersama, karena mendahului Mbah Dullah. Selesai acara kiai muda tersebut di panggil Mbah Dullah dan dikasih wejangan “ jangan ulangi kelakuan seperti tadi, karena sebenarnya Mbah Mutamakkin adalah seorang pemimpin yang merakyat, mencintai dan dicintai rakyatnya, bahkan wasilah kepada beliau dari rumah saja akan sampai tanpa harus datang kemakamnya” begitu pesan Mbah Dulllah kepada kiai muda itu.
Dalam acara ritual tahunan ini masyarakat dan santri juga mengadakan berbagai event untuk memeriahkannya, seperti kirab dan karnaval yang diikuti oleh semua RT yang ada di Desa Kajen, dalam kirab yang menjadi acara favorit adalah dengan hadirnya berbagai grup Drum Band dan Maching Band yang sengaja di datangkan dari berbagai wilayah di sekitar Pati, selain itu ada acara rutin tahunan yang menarik di lakukan oleh HSM ( Himpunan Siswa Mathali’ul Falah) yaitu bursa buku, bursa buku ini menghadirkan terbitan buku dari berbagai penerbit mulai dari Surabaya, Semarang dan yogyakarta.
Ribuan pengunjung yang datang menghadiri acara haul Mbah Mutamakkin, hampir selama satu minggu sebelum dan sesudah puncak acara, desa kajen telah ramai dari para pedagang dan pengunjung yang sengaja datang untuk ikut serta mengais rezeki dari barokahnya Waliyullah ini. Dua hari setelah dan sesudahnya tanggal 9 Syuro, kepadatan pengunjung mencapai klimaksnya, pertigaan Desa Ngemplak sampai pertigaan Desa Bulumanis penuh oleh lautan manusia, dapat dipastikan disaat seperti ini mobil sulit untuk melintas, apalagi memasuki area sekitar Makam, mereka mesti rela untuk berjalan kaki dari radius sekitar 1 Km dari Makam.
Situasi ini dimanfaatkan oleh sebagian penduduk yang mempunyai pekarangan sepanjang jalan keramaian, kereka mematok harga yang lumayan untuk sewa para pedagang, masih lagi kendaraan para pengunjung yang di parkir di tempat penitipan sepeda. Sampai sekarang belum ada yang pernah melakukan penelitian berapa jumlah rupiah yang berputar di Desa ini selama pelaksanaan haul Mbah Mutamakkin, namun jika dilihat dari puluhanan atau mungkin bahkan sampai ratusan kios yang berada di sepanjang jalan memasuki desa kajen dapat diperkirakan puluhan juta uang yang berputar mungkin bisa mencapai ratusan juta. Acara seremonial haul ini telah menjadi agenda tahunan dan salah satu ciri khas yang menjadi daya tarik desa Kajen dan selalu diadakan setiap tahunnya yang terus mengalami perkembangan.
GENEALOGI PESANTREN-PESANTREN KAJEN
Pesantren adalah suatu bentuk pendidikan ke-Islaman klasik-tradisional yang masih memegang teguh dalam mendalami dan memahami ajaran intelektualitas Islam sejak zaman nabi hingga masa kejayaan Imam empat: Syafi’i, Maliki, Hanafi dan hambali. Secara etimologis pesantren terdiri dari kata asal “santri” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pesantren” yang menunjukkan sebuah tempat, dimana para santri mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam dan kehidupan. Pesantren terdiri dari minimal; pondok/kamar/asrama berbentuk bangunan sederhana, Mushola atau masjid sebagai tempat untuk pengajian atau pengajaran, rumah seorang kiai yang secara total dan penuh selalu memperhatikan perkembangan para santri dalam menuntut ilmu dan tentunya santri serta tradisi kehidupannya yang unik dan khas.
Dalam pesantren ada sebuah sistem yang rigid dan baku, semuanya saling terkait yang mengental menjadi sebuah tradisi yang dimiliki oleh santri dan menjelma dalam karakter pribadinya, sehingga seringkali santri mendapat “stigma” atau julukan yang khas dan menarik, baik itu menyangkut cara hidup, pola pikir dan perilakunya. Berbeda dengan sebuah lembaga yang meng-asramakan peserta didiknya, pesantren tidak hanya menjadi sebuah tempat tidur atau istirahat saja, lebih dari itu dengan sistem dan metodenya dalam pesantren terjadi sebuah proses pendidikan yang khas dan unik di dalam membentuk sebuah karakter peserta didiknya melalui internalisasi keilmuan dalam perilaku sehari-hari yang dikontrol dan diawasi selama 24 jam melalui berbagai aktifitas dan program kegiatan pendidikannya.
Dalam banyak hal pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan sekaligus sosial kemasyarakatan menjadi suatu wilayah yang sangat menarik untuk dikaji terutama peranan dan kemampuannya dalam melakukan proses transformasi pengetahuan, serta menjaga akar historositas pendidikan yang dikembangkannya. Terbukti bahwa sampai saat ini pesantren tetap survive terhadap terpaan badai kapitalisme global dengan segala kompleksitas nilai dan budaya yang turut serta di dalamnya, bahkan pesantren mampu menjadi counter of cultur dan alternatif value ditengah arus pergerakan sosial yang terus berkembang dengan nilai dan budayanya yang khas dan indegeneous.
Pesantren memiliki daya saing dan tawar yang cukup tinggi dalam kancah pertempuran nilai dan budaya di dalam kehidupan masyarakat tersebut. Melalui konsep dan teori yang dimilikinya, al-mukhafadzatu ala al-khodimi al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-aslah, yaitu dengan mempertahankan setiap niali lama yang masih relevan dan baik serta mengganti dengan sesuatu yang baru yang bermanfaat dan mendatangkan kemaslahatan, pesantren dengan alamiah dan bijak melakukan proses perubahannya sendiri. Konsep ini diambil dan dilaksanakan pesantren dengan metode spiral, berputar dan berproses dengan pelan namun pasti menuju sebuah perubahan yang lebih baik dengan mempertimbangkan segala aspek yang melingkupinya baik yang bernilai duniawiyah maupun ukhrowiyah. Sebagaimana yang pernah ditulis sindhunata dalam bukunya “Dilema Manusia Rasional”, tentang pendapat Horkheimer bahwa ada dua teori yang bersifat emansipatoris yaitu teori tradisional dan kritis. Dalam hal ini pesantren dengan segala aspek dan cirinya yang khas dapat dikategorikan sebagai sebuah lembaga yang mempunyai sifat emansipatoris yaitu masuk dalam teori pertama dengan tradisi yang dimilikinya.
Metode tersebut sengaja diambil untuk menandingi dan menolak konsep yang ditawarkan oleh barat dengan modernisme dan globalisasinya yang cenderung linier, berjalan lurus tanpa banyak mempertimbangkan berbagai faktor yang melingkupinya, sehingga dapat dilihat bahwa proses modernisasi dengan berbagai kelebihannya telah dengan sengaja menyisakan banyak faktor negatif seperti sekulerisme dan budaya hedonisme yang cenderung melupakan Tuhan dan perilaku amoral serta kerancuan sosial.
Pesantren sebagai basis pengkaderan umat Islam tetap memiliki daya tarik tersendiri karena ia masih tetap konsisten dengan tugas dan fungsinya menyadarkan masyarakat secara terus-menerus dalam rangka amal ma’ruf nahi munkar untuk menyelamatkan umat manusia dari kealpaan akan eksistensi dan tujuan hidupnya sehingga akan terhindar dari kesesatan dunia dan siksaan akhirat. Lebih dari itu pesantren terus melakukan pembenahan dan membuka diri untuk mengkaji teks-teks klasik serta juga senantiasa membaca tanda-tanda zaman mutakhir yang semakin menggila dan cenderung menenggelamkan kesadaran kritis masyarakat.
Mengapa pesantren demikian terlihat kuat dan setia pada garis perjuangan dan keyakinannya serta mempertahankan identitas budaya ke-Islamannya, karena pesantren secara utuh dan sadar masih tetap mendalami dan menyerap warisan budaya klasik yang pernah membentuk peradaban dunia yang sangat canggih. Di bidang perkembangan pemikiran dan intelektual misalnya, Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya yang masyur dan telah dikonsumsi oleh barat merupakan cermin bahwa Islam sebenarnya menjadi entitas dan sumber pengetahuan serta budaya yang tidak akan pernah kering, banyak sekali bukti bahwa kemajuan barat saat ini tidak terlepas dari sumbangan pemikiran dan ide besar para pemikir Islam saat itu.
Sosialisme telah hancur sementara saat ini kapitalisme dengan teori besarnya tentang liberalisme dan globalisasi dicaci dan dimaki karena memang banyak melahirkan persoalan baru di berbagai lini kehidupan, mulai dari sosial-politik, ekonomi dan yang paling parah persoalan moral-etis. Masyarakat dunia saat ini seakan gamang dan tidak mampu mengendalikan kehidupannya sendiri, sehingga nalar kehidupan yang mestinya dapat dikontrol dan diselaraskan dengan kepentingan dan kebutuhan manusia demi kemaslahatan dan kebahagiaan seakan sirna seiring gencarnya arus kapitalisme yang semakin menggila. Keamanan dan perdamaian dunia terus terancam dengan manuver dan kinerja yang dilakukan para agen kapitalis, negara dunia ketiga semakin terpuruk dan sulit untuk bangkit, baik itu disebabkan oleh kelemahannya sendiri maupun sengaja dibuat lemah agar mudah dikendalikan dan diarahkan demi kepentingan mereka.
Pesantren dengan segenap tradisinya yang mendasarkan pada nilai-nilai yang digagas oleh Islam memiliki kemampuan “survival” dan itu telah terbukti hingga saat ini, pesantren dalam sejarah keberadaannya dalam proses ada dan meng”ada”nya selalu menempatkan kesadaran ktitis dan emansipatoris didalam melaksanakan tujuan hidup dan kehidupan disekitar dirinya. Kalau dilihat dari kacamata nasional, pesantren adalah salah satu aset bangsa Indonesia yang indegeneous dan bersifat lokal yang kalau dilihat dalam waktu kedepan dengan berbagai aset dan ciri yang selama ini dimilikinya mempunyai potensi yang cukup besar untuk ikut serta didalam proses “kebangkitan” bangsa yang saat ini sedang terpuruk.
Secara ekonomi pesantren merupakan lembaga yang mandiri dan mampu mebiayai dirinya sendiri tanpa menggantungkan proses pembangunan yang selama ini berlangsung, bahkan dalam kasus dan tahap tertentu pesantren mampu ikut serta berkiprah didalam pembangunan masyarakat melalui berbagai program dan konsen yang dimilikinya. Dalam bidang politik dan sosial, tidak mungkin bisa dipungkiri oleh semua pihak bahwa pesantren ikut serta dalam proses berdirinya bangsa ini, bahkan dalam setiap fase yang dilalui oleh bangsa ini pesantren selalu ikut andil dalam perjuangannya, baik secara fisik maupun pemikiran.
Dengan demikian dapat difahami bahwa pesantren sebenarnya memilki konsen terhadap keberlangsungan keilmuan dengan memperhatikan dan memahami masa lalu untuk kehidupan masa kini dan mendatang dengan semangat perennialisnya sebagai agama yang rahmatan lil al-alamin, yang diamalkan secara utuh, universal dan inklusif. Kematangan sebuah peradaban juga pengetahuan terlihat pada seberapa jauh kesadarannya akan akar-akar warisan klasik yang ia miliki. Makin dalam kesadaran akan hal itu maka semakin dalam pula ketangguhan dan kematangannya.
Intelektualitas dan nalar pesantren terbentuk dengan berbagai nilai budaya dan ciri khasnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak dengan sendirinya dan serta merta terbentuk begitu saja. Ia memiliki jaringan intelektual atau sanad serta silsilah yang sangat panjang mulai kepada orang nomor satu dalam dunia Islam di Nusantara ( walisongo ) bahkan hingga kepada Muhammad sang Nabi akhirul al-zaman. Hal itu tentu erat kaitannya dengan penyebaran Islam pertama di jawa sekaligus penjagaan pelestariannya sebagaimana pernah disampaikan oleh Zamakhsyari Dhofier bahwa pesantren secara alamiah telah melakukan berbagai usaha untuk melestarikan keberlangsungan hidupnya dengan melakukan berbagai upaya diantaranya, mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamous antara keluarga kiai dan mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara sesama kiai dan keluarganya.
Demikian juga keberlangsungan dan perkembangan pesantren yang ada di desa kajen tidak terlepas dari usaha tersebut, hal ini dilakukan dalam rangka pelestarian dan strategi penjagaan terhadap masa depan dan eksistensi pesantren itu sendiri, terbukti dengan perkembangan pesantren yang terjadi di desa Kajen masih berputar pada garis kekerabatan dari satu sanad keturunan. Mbah Mutamakkin sebagai penyebar Islam di wilayah ini sekaligus perintis berdirinya berbagai pesantren yang ada sejak awal telah melakukan kerja-kerja tersebut.
Jalinan dan jaringan kekeluargaan yang dibanguan pesantren melalui perkawinan merupakan usaha sadar dan sitematis untuk meneruskan garis perjuangan dalam Islam, seperti yang dulu pernah dilakukan oleh para bangsawan kerajaan guna melanggengkan keturunan dan kekuasaannya, bedanya kalau usaha yang dilakukan pesantren saat ini dalam rangka menjaga kelestarian dan keberlangsungan pesantren dalam wilayah tradisi dan warisan intelektual-keilmuan sementara para bangsawan dulu dalam kerangka politis dan mempertahankan jaring kekuasaannya. Dalam proses evolusi usaha yang dilakukan oleh keduanya merupakan sebuah langkah yang rasional dan bisa dinggap wajar, karena bagaimanapun juga salah satu tujuan dari hidup ini adalah bertahan untuk tetap eksis, apalagi jika semua itu berdiri diatas niatan suci memperjuangkan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya.
Menyoal sejarah perkembangan pesantren kajen tidak mungkin melepaskan dari sejarah kehidupan Mbah Mutamakkin, sebagai penyeru dan penganjur Islam pertama di wilayah tersebut. Pada mulanya melalui perjuangan dan gerakan sosial yang beliau lakukan akhirnya mulai dilakukanlah kerja-kerja intelektual, sebagaimana yang dulu juga pernah dilakukan oleh nabi besar Muhammad S.A.W ketika pertama kali meperkenalkan ajaran Islam sebagai nilai baru di masyarakat, begitupun Mbah Mutamakkin dengan mengajar orang-orang terdekatnya, diantara murid beliau yang terkenal dan mampu memberikan pencerahan dan ikut serta melakukan perubahan sosial di daerahnya kebanyakan masih kerabat dekat beliau yaitu: R. Ronggo Kusumo keponakan beliau dari K. Ageng Mruwut, di daerah Ngemplak desa sebelah barat daya desa Kajen R. Ronggo Kusumo dianggap sebagai seorang wali dan pahlawan bagi masyarakatnya, beliau dikenal sebagai bangsawan dan ulama’ yang mencintai dan memperjuangkan nasib rakyat kecil, dalam setiap dakwah yang dilakukan dalam rangka penyebaran Islam saat itu beliau selalu menggunakan pendekatan dan strategi peningkatan ekonomi kerakyatan sehingga masyarakat sangat respek terhadap ajaran yang beliau sampaikan. Konon pada saat itu beliau secara dor to dor mengetuk hati para agniya’ ( orang kaya ) untuk mengeluarkan sebagaian hartanya guna diberikan kepada yang berhak, para fakir miskin. Dengan type perjuangan yang beliau lakukan lambat laun banyak diantara para agniya’ tersebut yang dengan sadar dan sukarela mendermakan sebagian harta miliknya. Sekarang dapat disaksikan secara ekonomi masyarakat ngemplak tergolong lebih dari cukup dengan pabrik tapiokanya.
Murid Mbah Mutamakkin yang juga menjadi pioner dan perintis Islam didaerahnya adalah K. Mizan, beliau adalah keponakan Mbah Mutamakkin dari saudaranya yang bernama K.H. Abdullah yang berdomisili di Ngampel-Blora, nama Mizan diambil dari istilah timbangan karena beliau termasuk salah satu murid yang cerdas dan mampu memberikan imbangan kepada mbah Mutamakkin, hingga pada suatu ketika beliau diuji untuk mengambil air menggunakan keranjang, namun ajaibnya tak setetespun air yang tumpah melalui lubang anyamannya, akhirnya karena dipandang sudah mampu dan saatnya untuk ditugaskan maka K. Mizan diperintahkan untuk merintis perjuangan didaerah sebelah utara desa kajen yang sekarang terkenal dengan sebutan margotuhu ( karena ketaatan ) yang diambil dari peristiwa tersebut karena beliau sangat ta’dzim dan tanpa banyak protes melaksanakan perintah mbah Mutamakkin.
Pada masa ini bentuk pesantren belum terlihat jelas dan sistematis seperti sekarang ini, pengajian dan pengajaran Islam masih dilakukan di masjid dengan sangat sederhana, baru pada sekitar abad XIX, generasi ketiga Mbah mutamakkin yaitu seorang murid terpandainya yang diambil menantu beliau bernama K. Ismail mendirikan pesantren yang diyakini sebagai pesantren pertama di Kajen tepatnya di daerah selatan Masjid Kajen yang pada saat itu lebih dikenal dengan nama pondok pesantren tengah ( sekarang bernama Pesantren Raudlatul ‘Ulum ). pemberian nama saat itu diukur dari keberadaannya karena memang berada ditengah-tengah desa kajen, dan untuk selanjutnya makam kanjengan ( Mbah Mutamakkin ) dijadikan barometer dengan melihat tembok ( banon ) makam kanjengan.
Setelah itu di kajen mulai bermunculan berbagai pesantren dengan melakukan perbaikan dan penyempurnaan, seperti yang dilakukan oleh salah satu cucu Mbah Mutamakkin yang bernama K.H. Nawawi putra K.H Abdullah dengan memprakarsai berdirinya pondok kulon banon ( berada di arah barat tembok makam kanjengan) yang sekarang telah berkembang pesat dengan nama TPII ( taman pendidikan Islam Indonesia ). Setelah itu sekitar dua taun berselang di daerah wetan banon berdiri sebuah pesantren yang diprakarsai oleh KH. Siroj putra K.H Ishaq yang kemudian hari terkenal dengan sebutan salafiyah.
Pendirian pesantren oleh keturunan Mbah Mutamakkin baru disusul sekitar tahun 1910 di daerah kajen paling barat bersebrangan dengan desa Ngemplak yang bernama pol garut berdirilah pesantren yang diberinama sesuai dengan daerahnya yaitu polgarut, yang dipimpin oleh K.H. Abdussalam dan putranya K.H Mahfudh yang pada perkembangannya menjadi dua pesantren dengan berdirinya pesantren yang dikelola oleh K.H. Mahfud dengan nama Maslakul Huda dan pesantren yang lama bernama Matholi’ul Huda yang kemudian diasuh oleh Mbah Abdullah Zein Kakak K.H. Mahfudh. Maslakul Huda berdiri setelah K.H. Maffudh pulang dari pengembaraan intelektualnya dan dilanjutkan oleh adiknya K.H. Aly Mukhtar yang selanjutnya dikembangkan oleh K. HMA. Sahal Mahfudh hingga sekarang.
Keempat pondok diatas dalam perkembangan dan sejarah pesantren yang saat ini ada di Kajen menjadi barometer dan titik-titik pusat intelektual dan merupakan tipologi yang khas dari ciri pesantren yang ada. lazimnya sebuah pesantren yang memiliki daya juang dan kembangnya yang sangat independent, keempatnya melakukan proses yang sangat mandiri dan tidak mau terpengaruh oleh berbagai model dan cara yang dilakukan oleh yang lainnya, mereka memilki karakter dan kalau diamati kayaknya memilki pembagian tugas yang rigid dan jelas, penulis tidak tau secara pasti apakah mereka dalam pelaksanaan ide dan gagasan tersebut telah melakukan koordinasi dan konsolidasi sebelumnya atau tidak, namun yang jelas keempatnya memilki karakter yang kuat dan khas. Mereka berkembang dan berproses tanpa menafikan yang lain. Secara global pesantren yang ada di kajen bisa digambarkan sebagai sebuah universitas intelektual yang terdiri dari berbagai fakultas berupa pesantren-pesantren yang memilki karakter dan metode yang berbeda-beda.
Proses diatas merupakan sebuah konsekunsi yang wajar dari akibat nalar yang dimiliki oleh pesantren, yaitu kemandirian dan figur orientasinya yang kuat dalam pengelolaan mengakibatkan kesan bahwa mereka berkembang dengan sendiri-sendiri. Tampak luar seakan proses perkembangan pesantren yang terjadi di kajen terkesan tidak harmoni dan nafsi-nafsi. Namun diluar itu sebenarnya telah terjadi persaingan yang positif, dimana masing-masing pesantren yang ada selalu melakukan inovasi dan pembaruan sesuai dengan misi dan visi yang mereka miliki.
Pesantren wetan banon ( salafiyah ) dengan berbagai ekselerasi dan inovasinya telah melakukan banyak perubahan dan perkembangan yang berarti baik secara manajerial maupun kurikulumnya. Salafiyah sebagai sebuah pesantren sadar betul bahwa santri tidak saja dituntut mampu menguasai dan memahami ilmu agama namun lebih dari itu mereka harus menguasai bidang sain dan tehnologi, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah konkret dalam proses metamosphosis yang mereka alami. Akhirnya dengan sadar dan terencana pesantren ini mendirikan madrasah yang terus mengalami perkembangan di berbagai bidang mulai dari kegiatan dan kurikulumnya yang semmuanya berbasis pada pengingkatan kemampuan dan kreatifitas santri. Perkembangan madarasah yang didirikan oleh pesantren mencapai puncaknya dengan diterimanya “ surat pengsahan perguruan agama Islam dari pemerintah pada tahun 1975 NO : K/127/III/75. Pada waktu itu di desa kajen salafiyah menjadi satu-satunya pesantren yang memilki madarasah yang diakui oleh pemerintah dan mengikuti ujian negara tahun 1980-an.
Meskipun diyakini sebagai pondok pertama di kajen pesantren tengah yang didirikan oleh K.H. Ismail yang kemudian diteruskan oleh K.H. Murtaji tidak mengalami perkembangan yang penting baru setelah berdiri dibekas pesantren yang lama yaitu pesantren Raudlatul ‘ulum yang diasuh K.H. Fayumi Munji pesantren tengah mulai mengalami sedikit perubahan yang sekarang diasuh oleh K. Ismail putra beliau. Pesantren tengah dalam pegembangan dan pengelolaannya tidak cukup mengalami perubahan yang signifikan dan substansial, pesantren tengah masih berpegang teguh sebagai lembaga tradisional yang mempertahankan berbagai tradisi yang dianut dan diyakininya dengan melakukan berbagai penyesuaian yang dilakukan dalam rangka efisiensi dan efektifitas.
Di wilayah ini ( pesantren tengah ) dalam perkembangannya berdiri berbagai pesantren disekitar masjid Kajen diantaranya: Pesantren Kauman yang didirikan tahun 1926 oleh K.H. Hasbullah, pada awalnya lembaga ini dipakai sebagai untuk pengajian al-Qur’an dan kitab-kitab salaf karena mengalami peerkembangan maka berdirilah pesantren yang selanjutnya diasuh oleh putranya yang bernama K. Munif hasbullah dan sekarang dipegang oleh K.H. Umar Hasyim adik iparnya, pesantren ini diberi nama kauman karena berada di komplek masjid yang identik dengan kaum beriman ( Kauman), yaitu sebelah barat Masjid kajen. Ke arah utara bersebelahan dengan pesantren kauman dapat ditemui pesantren Kauman kretek yang sekarang bernama APIK, pesantren ini didirikan sekitar tahun 1953 dibawah asuhan K.H Muhammadun ( menantu K.H. Nawawi ) dan sekarang diasuh oleh K. Zahwan dan K.H Junaedi putra beliau. Terus kearah utara berdiri pesantren Buludana yang dirintis oleh K.H. Muhtar al-Hafidh yang dalam perkembangannya dikelola oleh kedua putra beliau ( K. Abdul Bari Mukhtar dan K. M. makmun Mukhtar, pada masa awal kepemimpinan mereka pesantren ini bernama APELBUK ( Asrama Pelajar Buludana Kajen ) dan sekarang berganti nama menjadi pondok pesantren Mabda’ul Huda ( PPMH )
Seperti yang disinggung diatas pada masa awal dan perkembangannya di wilayah tengah pesantren tidak mengalami perubahan yang cukup berarti, baru pada tahun 1983 di wilayah ini terjadi perubahan yang pesat setelah berdirinya pesantren al-hikmah yang dirintis oleh K.H. Ma’mun Muzaiyyin ( menantu Mbah Dullah ) yang dalam waktu singkat sekitar satu dasawarsa mampu melakukan berbagai manuver dan akselerasi pertumbuhan yang menggembirakan dengan berbagai aktifitas dan kreatifitasnya, selain pesantren al-hikmah juga mendirikan madrasah yang dalam pengelolaannya dapat disamakan dengan yang dilakukan oleh pesantren wetan banon ( salafiyah ), juga melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikannya, nampaknya dengan bijak pesantren ini belajar dari dinamika proses pendidikan nasional yang sedang berlangsung.
Pesantren kulon banon berada sekitar 200 meter arah timur makam mbah Mutamakkin dan didirikan oleh keturunan beliau generasi ke-enam yang bernama K.H. Nawawi putera K.H Abdullah. Dalam pengelolaannya K.H. nawawi dibantu oleh ketiga putra beliau yaitu K.H. Thohir, K.H. M. Fahrurrozi dan K.H. Ahmad Durri nawawi, pondok kulon banon ini berdiri tahun 1900, dilihat dari tahunnya pesantren ini merupakan pesantren kedua setelah pesantren tengah pertama berdiri. Setelah mengalami berbagai perubahan dan perkembangan pesantren ini lebih populer dengan nama pesantren TPII ( taman pendidikan Islam Indonesia ) yang diasuh oleh K.H. Muzammil Thohir ( putra K.H. Thohir Nawawi ) dan pada tahap selanjutnya berdirilah pesantren putri yang diasuh oleh adiknya yang bernama K.H. Muadz Thohir.
Sementara itu di desa Kajen bagian paling barat tepatnya di daerah polgarut pada tahun 1910 K.H. Abdussalam dan putranya K.H. Mahfudh mendirikan pesantren yang pada saat itu diberi nama pesantren matholi’ul Huda ( PMH ) dan dalam perkembangannya karena putranya telah selesai dalam melakukan pengembaraan intelektual diberilah sebuah tanah disebelah utaranya untuk mendirikan pesantren baru. Pesantren ini mengalami tiga masa kepengasuhan yang pertama periode perintisan dipegang oleh K.H. Mahfudh, dan periode peralihan karena putra beliau yang bernama K.H Sahal mahfudh masih menempuh pendidikan diberbagai pesantren di jawa dan arab, pada waktu ini pengasuh dipegang oleh adik K.H. Mahfudh yaitu K.H. Aly Mukhtar baru setelah K.H. Sahal Mahfudh merampungkan studinya pesantren ini dikelolan dan dikembangkan oleh beliau yang diberinama pesantren PMH Putra singkatan dari Maslakul Huda ( polgarut utara ) untuk membedakan dengan PMH pusat ( polgarut selatan ).
Dalam perkembangannya kedua pesantren ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dan signifikan, selain dilanjutkan dengan berdirinya pesantren putri di masing-masing pesantren ini ( al-Husna – pesantren putri PMH Pusat ) dan al-badi’iyah- pesantren putri PMH Putra ), keduanya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan baik dari segi methode pendidikan dan sistem pengelolaan. PMH Pusat sangat terkenal dan identik dengan pesantren yang memfokuskan pada pengfhafalan al-qur’an dan pengkajian kitab-kitab klasik sementara PMH Putra selain terkenal dengan pesantren salaf yang menekankan pada pengkayaan dan pengkajian fiqih juga lebih dikenal dengan sistem pengelolaannya yang moderat dan partisipatif.
Keberadaan kedua pesantren ini dalam sejarahnya tidak mungkin untuk dilepaskan dari berdirinya Madrasah Matholi’ul falah yang berdiri terpaut dua tahun dari berdirinya pesantren ini. Kalau pesantren wetan banon ( salafiyah ) dan tengah ( al-hikmah) dalam pengembangannya mendirikan madrasah namun PMH putra dan pusat dengan sengaja tidak melakukan langkah-langkah tersebut. Penulis belum mengetahui alasan dari pengambilan kebijakan tersebut, namun meskipun secara pengelolaan dan struktur antara PMH putra-pusat tidak terkait dengan Matholi’ul falah, kesinambungan diantara ketiganya nampak terlihat dalam penyesuaian kurikulum yang diberlakukan di pesantren tersebut, dimana setiap kegiatan yang akan diadakan oleh pesantren disesuaikan dengan berbagai kegiatan yang diprogramkan di madrasah matholi’ul Falah, bahkan kalau diteliti lebih jauh dalam hal kurikulum dapat ditemukan kesinambungan dan korelasi positif antara pesantren dan madrasah itu, apalagi sebenarnya ketiganya masih berada dalam satu payung yayasan nurul al-salam. Dan kurang lengkap dan komprehenshif kiranya jika mau memahami pesantren PMH putra dan PMH pusat tanpa mengaitkannya dengan keberadaan madrasah Matholi’ul Falah.
Kalau diteliti lebih seksama sebenarnya pembagian typologi dan klasifikasi pesantren wetan banon, tengah dan kulon banon kurang bisa dipertanggungjawabkan dalam sejarah perkembangannya, kalau pemberian istilah pesantren tengah yang diambil karena berada ditengah-tengah wetan banon dan kulon banon [8], secara geografis-historis sulit diterima, karena kalau kita lihat sejarah berdirinya pesantren tengah adalah pesantren pertama di kajen dan keberadaannya sebelum keduanya ( wetan dan kulon banon ). Istilah banon digunakan untuk dinding makam kanjengan yang dikelilingi oleh tembok besar ( banon ) sebagai penunjuk arah keberadaan pesantren awal yang berdiri hampir bersamaan di kajen.[9]
Dalam hal ini ada kerancuan dalam penggunaan istilah wetan banon, tengah dan kulon banon. Kalau yang digunakan penamaan itu mengacu pada keberadaan dinding makam kanjengan sebenarnya pesantren tengah berada di sebelah wetan banon dan kalau yang digunakan pemberian nama pesantren tengah adalah keberadaannya diantara pesantren wetan banon dan kulon banon juga sulit diterima karena pesantren tengah merupakan pesantren pertama di kajen, bagaimana mungkin memberi istilah tengah ketika pesantren wetan dan kulon banon belum berdiri. Akhirnya penulis mencoba menyimpulkan bahwa pemberian istilah pesantren tengah diambil setelah berdirinya pesantren wetan dan kulon banon, sementara istilah pesantren wetan dan kulon banon ditinjau dari keberadaannya dari dinding makam kanjengan.
Memahami pesantren kajen mesti memahami sejarahnya terlebih dahulu, keberadaan pesantren wetan banon, tengah dan kulon banon tidak dengan sendirinya terbentuk begitu saja. Ketiga pesantren tersebut berdiri hampir bersamaan dan dapat dikatakan sebagai embrio lahirnya berbagai pesantren yang saat ini ada di desa Kajen. Dalam perkembangannya, pesantren kajen bertolak dari ketiga titik pesantren tersebut yang berdiri hampir tepat terbagi kedalam wilayah itu, wetan banon, tengah dan kulon banon. Ketiga pesantren itu merupakan pemicu kebangkitan pesantren yang muncul belakangan di sekitarnya yang jika ditelusuri tidak terlepas dari ikatan keluarga dengan ketiga bani tersebut.
Sebagian besar masyarakat meyakini hingga sekarang tiga serangkai ulama tersebut melalui keturunannya menjadi panutan dan pengaruh besar serta penentu corak dan karakter pesantren yang ada di desa Kajen, secara sosio-religius dalam keyakinan masyarakat menempati posisi tertinggi. ketiga bani tersebut adalah keturunan Mbah Mutamakkin generasi ke-lima yaitu bani Siroj ( pesantren wetan banon-salafiyah ), bani nawawi ( pesantren kulon banon-TPII ) dan bani salam ( pesantren polgarut- PMH putra dan pusat ).
Pengaruh dan penentu corak serta karakter pesantren desa kajen yang diberikan ketiga bani tersebut tidak hanya disebabkan karena faktor garis keturunan dan sejarah saja namun juga dapat diduga kuat karena ketiga bani tersebut memilki pilihan dan cara yang khas dalam metode dan penggunaan sistem pendidikan serta pengelolaan pesantren yang mereka dirikan. Pesantren wetan banon misalnya dengan latar belakang sejarahnya memiliki nalar dan cara pandang yang khusus yaitu ingin mewujudkan sebuah lembaga pendidikan yang dinamis dan akseleratif, salafiyah memandang bahwa seorang santri tidak hanya dituntut mampu untuk memahami ilmu agama an-sich namun juga sepatutnya menguasai ilmu-ilmu umum seperti, sain dan tehnologi untuk itu berbagai upaya pengembangan mesti dilakukan demi terwujudnya cita-cita tersebut.
Sehingga pihak lain termasuk pemerintah adalah mitra di dalam proses pengembangan yang mereka lakukan dengan melakukan berbagai kerjasama, hal ini terbukti bahwa sejak awal salafiyah telah melakukan kerja-kerja tersebut yaitu dengan diakuinya oleh pemerintah pada tahun 1948 dan mendapat bantuan sarana penunjang pada tahun 1950 berupa tenaga pengajar dan alat-alat sekolah. Semua ini dilakukan dalam rangka pengembangan yang mengacu pada cita-cita diatas. Dalam proses sejarahnya sampai pada puncak kulminasi dalam sistem pendidikannya salafiyah sebagai sebuah lembaga mulai mengikuti persamaan ujian pada tahun 1980-an, mulai saat itu pesantren salafiyah dengan berbagai kegiatan dan aktifitas kependidikanya telah menyatu dengan sistem pendidikan pemerintah dengan mengikuti ujian negara, mulai saat itu pesantren salafiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan meraih berbagai prestasi di tingkat karisidenan Pati dan wilayah Jateng.[10]
Sementara itu pesantren kulon banon dan polgarut memiliki cara pandang dan nalar sendiri yang berbeda dalam mengelola sistem pendidikannya, kedua pesantren ini sejak dari awal sadar dan faham betul bahwa sebuah lembaga pendidikan akan memiliki karakter dan nalar yang kuat dan mampu melakukakn kerja-kerja kritis emansipatoris ketika dapat menempatkan diri dalam jarak yang sama dengan berbagai pihak termasuk pemerintah saat itu, independensi adalah jalan sadar yang dipilih dengan mendirikan sebuah madrasah pada tahun 1912 ditengah gejolak bangkitnya kesadaran kolektif bangsa indonesia dengan “nasionalisme”nya. Berbagai organisasi muncul dan berkembang saat itu seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam dan berbagai ormas lainnya. Lahirnya madrasah ini berngkat dari keprihatinan dua orang kakak adik yaitu KH. Abdus Salam dan KH. Nawawi yang pada saat itu didukung oleh Mbah Sa’id seorang desersi kepolisian negara Singapura yang dalam pelariannya terdampar di desa Kajen. Keprihatinan itu disebabkan karena mereka memandang pengajaran pesantren yang ada pada saat itu kurang sistematis dan efektif, akhirnya mereka sepakar untuk membuka pengajaran pesantren dengan sistem klasikal.
Dalam proses perkembangannya keterkaitan pesantren kulon banon dan polgarut dengan keberadaan Madrasah ini yang akhirnya pada tahun 1922 oleh KH. Mahfudh Salam ( putra KH. Abdus Salam, salah satu pendiri Madrasah) diberi nama “Perguruan Islam Mathali’ul Falah” (PIM) tidak bisa dipisahkan begitu saja, mulai sistem yang saling terkait dan berkesinambungan sampai pada wilayah nalar dan gagasan besar yang selalu beriring dan sejalan, bahkan kalau dilihat dengan seksama dan teliti berbagai program dan aktifitas yang ada di pesantren ( Kulon Banon dan Polgarut ) sepenuhnya menunjang kegiatan yang dilakukan di PIM. Hal ini mulai kentara terlihat semenjak kepemimpinan PIM di pegang dan dikelola oleh KH.MA. Sahal Mahfudh ( putra KH. Mahfudh Salam ).
Pesantren Kulon banon dan Polgarut dalam setiap kegiatannya selalu mengorintasikan pada terbentuknya seorang insan yang sholih dan akrom, tujuan ini hanya dapat terwujud ketika santri sebagai seorang insan memiliki kemampuan sekaligus kemandirian dalam dirinya. Bagaimanapun juga dalam proses pembentukan itu dibutuhkan sebuah konsep dan metode yang sarat dengan nilai-nilai keislaman baik diwilayah, intelektualitas, emosionalitas dan spiritualitas. Seorang insan yang sholih dan akrom sudah barang tentu didalam dirinya terinternalisasi ketiga nilai-nilai tersebut.
Untuk itu dalam mewujudkan sistem dan metode pendidikan yang indegeneous dan khas yang saat ini dimiliki oleh PIM dibutuhkan sebuah kemandirian dan independenasi pengelolaannya dari campur tangan pihak manapun termasuk pemerintah, karena hanya dengan kemandirian dan independensi tersebut PIM mampu melkasanakan setiap gagasan dan konsep yang akan di realisasikan kedalam setiap program pendidikannya. Tujuan ini seiring dengan gagasan yang pernah dilontarkan oleh seorang pakat pendidikan kritis “gramsci” yang berpendapat bahwa, “ proses pendidikan seringkali digunakan untuk melanggengkan struktur kekuasaan dengan mempertahankan ideologi dan hegemoni negara” dan hal inilah yang saat ini telah dan terus dilakukan PIM sebagai sebuah lembaga pendidikan dengan berbagai program dan aktifitasnya untuk membentuk insan yang sholih dan akrom yang memiliki daya kritis dan emansipatoris yang berdiri kokoh diatas kemnerdekaan dan independensinya dalam berfikir dan bergerak.
Proses sejarah keberadaan PIM menunjukkan bahwa, kemandirian dan independensi telah menjadi nalar dan akar pemikiran dalam setiap gerak dan aktifitasnya, PIM adalah perguruan yang sadar betula akan pentingnya kemerdekaan dalam berfikir dan bersikap dan hal ini terlihat dalam berbagai pilhan yang diambil, seperti menolak ujian negara dan pemberian status oleh pemerintah, karena PIM meyakini ketika sebuah lembaga pendidikan telah menjadi bagian dari sitem pendidikan pemerintah yang sampai saat ini belum jelas arahnya mau dibawa kemana, maka sejak saat it juga lembaga tersebut tidak indepnden dan setiap aktifitasnya akan mengikuti dan harus rela melakukan perubahan yang dikehendaki oleh pemerintah, baik mulai dari sitem dan metode pengajarannya sampai pada wilayah kurikulumnya, dan hal ini sangat tidak diharapkan oleh PIM yang memilki sekian kurikulum yang khas dan independen.
Sistem organisasi kesiswaan yang dimiliki oleh PIM merupakan wahana yang sangat dinamis dan mendekati pada sistem ketatanegaraan yang saat ini ada, yaitu dengan model “presidensil” dengan keterwakilan siswa dalam setiap kelas melalui keberadaan MPS ( Majelis permusyawaratan Siswa ) yang setiap tahunnya memilih mandataris ( Presiden) untuk melaksanakan setiap kegiatan kesiswaan. Mekanisme yang dibangun sepenuhnya dalm koridor demokrasi dengan asaa dari siswa oleh siswa dan untuk siswa. Keikutsertaan siswa dalm setipa proses mekanisme organisasi sangat ketat dan sepenuhnya mereka yang melakukan setiap tahapan yang mesti dilalui tanpa campur tangan pihak Ustad ( guru ) bahkan lembaga PIM, mekanisme yang berlangsung telah berjalan dengan tertib dan sesuai dengan prosedur yang ada, pihak lembaga hanya menyediakan setiap kebutuhan yang menjadi “hak” siswa dengan mengucurkan dana yang telah dibayarkan oleh mereka setiap bulannya, dalam prosentase dana yang diputar oleh organisasi kesiswaan di PIM sangat besar, untuk saat ini hampir mencapai puluhan juta setiap periodenya.
Sejauh yang diketahui penulis, mungkin PIM satu-satunya lembaga pendidikan yang memilki 4 organisasi kesiswaan sekaligus dalam satu atap. Keempat organisasi itu adalah HSM ( Himpunan siswa Mathali’ul Falah), wadah organisasi yang dimilki oleh siswa putra dalam kegiatan umum, HISMAWATI ( Himpunan Siswa Mathali’ul Falah Putri ) yanhg dimilki oleh siswa putri dalam kegiatan umum dan masing-masing siswa putra dan putri masih punya wadah dalam kegiatan yang berbau ke-araban yang dinamakan Qismun Nasyath, yaitu wadah kegiatan siswa yang bergerak di wilayah pengembangan dan kegiatan bahasa arab.
Dalam mekanismenya organisasi kesiswaan yang ada di PIM diberikan keluasan dan kebebsan gerak selama tidak melanggar aturan yang ada dengan menerapkan konsep taman siswa “Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri handayani” sehingga organisasi kesiswaan dalam kiprahnya mampu melakukan berbagai aktifitas yang melahirkan prestasi. Diantara aktifitas yang dilakukan adalah, diskusi dan seminar ilmiah, pengajian umum, penerbitan bulletin, Marching band, kegiatan sosial-kemasyarakatan, pelatihan dan kursus, daurah bahasa arab, olah-raga, taman gizi, bursa buku. Dll.
Salah satu lagi tradisi yang sampai saat ini masih dipertahankan dan nampaknya akan tetap menjadi kurikulum adalah sistem hafalan bagi siswa untuk setiap kelas sebagai syarat kenaikan, juga pada setiap kelas terkhir masih dibebani dengan test kitab yang diujikan kepada pihak luar PIM dengan mendatangkan ustad dari berbagai perguruan dan madrasah lain. Dan khusus bagi kelas III aliyah yang akan merampungkan studi di perguruan ini di wajibkan membuat paper semacam “skripsi” ringan dalam bahasa arab yang dimunaqosyahkan menjelang kelulusan.
Dalam kebijakannya PIM juga mewajibkan setiap siswanya untuk menempuh pendidikan di pesantren dalam radius tertentu, hal ini diambil untuk menjaga ketertiban dan keberlangsungan proses belajar mengajar yang diterabkan, karena selain disinga hari seringkali kegiatan PIM juga dilaksanakan di malam hari, dengan demikian siswa akan konsen dan bisa fokus didalam mengikuti setiap program yang diterapkan. Kalender pendidikan di PIM dimulai pada bulan Syawal dalam kalender Islam dan memakai sistem evaluasi setiap empat bulan ( kuartal ) dalam memantau kegiatan belajar mengajarnya.
Sampai saat ini PIM dengan berbagai ciri khas dan problematikanya masih kuat berdiri kokoh diatas kakinya sendiri, berdikari dan mandiri serta independen dalam setiap kegiatan yang dilaksanakannya, hal inilah yang menjadi ciri khas dan sejkaligus kelebihan yang memang sengaja diambil PIM sebagai sebuah langkah nayata untuk mewujudkan cita-citanya dalam membentuk manusia yang sholih dan akrom.
Kalau dilihat dua aliran besar itulah ( Salafiyah dan PIM ) yang saat ini masih kuat mewarnai setiap corak pemikiran yang berkembang di pesantren yang ada di desa kajen. Karakter dan nalar yang berbeda yang sengaja diambil oleh keduanya sekaligus menjadi ciri khas dan kelebihan tersendiri di dalam proses pembentukan santri yang pada gilirannya dituntut untuk mengimplementasikan setiap pengetahuan dan ilmunya di dalam kehidupan nyata masyarakat. Perbedaan keduanya merupakan potensi yang tidak perlu dinegasikan satu sama lain, karena pada dasarnya kebenaran dan arah menuju sebuah kemajuan dan kemaslahatan adalah sebuah “proses” yang panjang dan memerlukan berbagai ide dan gagasan. Potensi keduanya adalah aset besar yang saat ini dimiliki Kajen sebagai sebuah “kampung santri” yang penuh dengan berbagai aktifitas keilmuan dan dinamika pendidikan. Bahkan pada tahapan tertentu nantinya tidak hanya keduanya namun fakultas-fakultas ( pesantren ) keilmuan yang memiliki corak dan nuansa yang berbeda-beda yang ada di Kajen perlu disinergikan menjadi sebuah universalitas keilmuan yang mencakup berbagai potensi yang ada, jika nanti tahapan ini mampu dilakukan oleh berbagai civitas yang ada di kajen, maka kajen akan menjadi sebuah icon dan barometer pendidikan pesantren yang mempunyai masa depan dan potensi yang dahsyat.
Kamis, 16 Juni 2011
PMH PUTRA
Secara historis tidak diketahui pasti kapan tanggal berdirinya pesantren Maslakul Huda, namun dapat dipastikan rintisan aktifitas cikal bakal keberadaan Maslakul Huda sudah berlangsung sekitar tahun 1910an. Pada waktu itu, mbah Mahfudh ( ayah Kiai Sahal Mahfudh) telah menginjak dewasa, beliau ingin mempunyai pesantren sendiri. Mbah Mahfudh setelah menimba ilmu dari mekah sempat tabarukan sebentar kepada kiai Hasyim Asy’ari, ketika beliau ngangsu kaweruh di tebuireng saat itu sudah diberikan kesempatan mengajar oleh mbah Hasyim Asy’ari, sehingga ketika mbah mahfudh minta diri pulang untuk merintis pesantren di kajen, beberapa santri yang dulu menjadi muridnya di tebuireng ikut beliau, yang akhirnya menjadi santri pertama di Maslakul Huda.
Pada awalnya pesantren ini belum bernama Maslakul Huda tetapi Polgarut singkatan dari nama daerah dimana pesantren ini berada yaitu, Gempol garut. Baru ketika pesantren dipegang oleh kiai Sahal Mahfudh sekitar tahun 1963 dinamakan Maslakul Huda ( jalannya pituduh ) dengan maksud sebagai tahap lanjutan dari Mathali’ul Huda ( sumbernya pituduh) pesantren yang didirikan ayah mbah Mahfudh ( Mbah Abdussalam ) yang diasuh oleh Mbah Abdullah Salam (almarhum) putra Mbah Abdussalam dan sekarang diasuh oleh kiai Nafi’ Abdillah (putra Mbah Abdullah Salam)
Pesantren Maslakul Huda berdiri diatas tanah seluas 5000m. Dalam perjalan sejarahnya, pesantren ini telah mengalami pergantian pengasuh tiga kali. Tahap perintisan dipegang oleh Kiai Mahfudh Salam yang selanjutnya ketika beliau wafat pengasuh dipegang oleh adik beliau K.H Ali Mukhtar bin Abdussalam. Selanjutnya setelah putra kiai Mahfudh yang bernama KH.MA Sahal Mahfudh pulang dari pengembaraan mencari ilmu, pesantren diasuh oleh beliau sampai sekarang.
Secara geografis, letak pesantren Maslakul Huda berada di wilayah desa Kajen paling barat, keberadaannya berbatasan langsung dengan Desa Ngemplak, tepatnya di arah barat Makam Syech Ahmad Mutamakkin dan sebelah timur jalan Pati Tayu km 15, Bangunan pesantren Maslakul Huda terdiri dari 20 lokal kamar santri, kantor pengurus 1 lokal, Mushola, perpustakaan, Aula 2 lokal besar dan kecil, ruang tamu 3 lokal, Kamar Ustadz 5, tempat wudlu 2 lokal dan kamar mandi/wc 17 lokal, Lab Bahasa 1, Lab Komputer 1. Setting tata ruang dan bangunan pesantren sangat mencerminkan keterbukaannya terhadap perubahan dan perkembangan nilai dan wacana yang terus melaju, dimana kompleks pesantren putra dan putri dibelah oleh jalan umum yang setiap saat baik pada siang ataupun malam hari masyarakat umum bebas melintas. Demikian juga pesantren putra, tidak ada pagar yang membatasi aktifitas dan komunikasi dengan pihak luar, hal ini menjadi bukti nyata dan niatan dari pesantren untuk terbuka dan berintegrasi dengan lingkungan sekitar.
Pola dan setting bangunan model tersebut punya nilai positif sekaligus negatif. Positif dalam arti tidak terjadi pengekangan dan pembatasan terhadap santri dalam beraktifitas sehari-hari. Santri dibiarkan untuk bebas menentukan sikap dan pilihannya asal bertanggung jawab dengan tugas dan statusnya. Pola tersebut juga menampik anggapan yang sering dialamatkan pada pesantren sebagai lembaga yang eksklusif dan tertutup. Dengan bentuk semacam ini santri lebih leluasa untuk memilih dan menentukan kreatifitasnya dengan tanpa melanggar atauran main yang ada. Setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi diluar dirinya santri akan cepat menyerap dan tanggap.
Namun di sisi yang lain, dengan model bangunan yang sangat terbuka tersebut, pesantren terutama pengurus mempunyai tugas dan tanggung jawab tambahan yang lebih berat berhubungan dengan kontrol terhadap santri dan perkembangan yang mereka alami. Karena dengan model bangunan terbuka seperti ini, kemungkinan santri untuk keluar dan lari dari berbagai aktifitas yang diadakan pesantren sangat besar. Tapi sekali lagi gagasan dan ide lebih besar nilai dan harganya dari sekedar persoalan teknis, pengurus lebih rela melakukan kerja tambahan dengan melakukan pengontrolan dan pengabsenan yang ketat setiap waktu terhadap para santri, terutama dalam aktifitas-aktifitas tertentu yang bersifat wajib.
Salah satu kebijakan yang ditempuh dalam rangka menertibkan santrinya untuk fokus dan eksis dalam wilayah tholabul ‘ilmi, pesantren mewajibkan setiap santri untuk sekolah formal klasikal yang ada di Desa kajen. Ada sekiat 5 madrasah di kajen yang menjadi tempat mereka menimba ilmu formal berjenjang diantaranya: Madarasah PRIMA, Madrasah Manabi’ul falah, Madrasah Salafiyah dan Madrasah Mathali’ul Falah. Meskipun pesantren memberi kebebasan dalam menentukan pilihannya namun hampir sebagian besar santri yang ada di pesantren Maslakul Huda memilih untuk menempuh pendidikan formalnya di Madrasah Mathali’ul Falah. Hal ini bukan suatu kebetulan semata namun banyak faktor yang mempengaruhinya, selain memang Maslakul Huda dan Mathali’ul Falah masih berada dalam satu atap kebijakan dibawah kepemimpinan KH.MA. Sahal Mahfudh.
Secara kurikulum dan aktifitas Maslakul Huda dan Mathali’ul Falah adalah sebuah sistem yang satu dan padu dari gagasan besar KH.MA sahal Mahfudh dalam sistem pendidikan pesantren yang beliau tawarkan. Aktifitas keduanya saling menunjang dan melengkapi bahkan secara kurikulum dan waktu pelaksanannya saling mensiasati dan menyesuaikan.
Karena sebagian besar santri Maslakul Huda adalah murid Madarasah Mathali’ul Falah kegiatan kependidiakan yang berlangsung di pesantren Maslakul Huda, selain dengan disesuaikan waktu sholat rawatib, juga disesuaikan dengan berbagai kegiatan kependidikan santri di Mathali’ul Falah.
Aktifitas santri dimulai dengan sholat subuh berjama’ah dilanjutkan belajar bersama dan mengkaji kitab kuning dengan materi ajaran tajwid dan baca Al-qur’an. setelah itu sekitar pukul 06.00 membersihkan halaman pesantren bagi yang piket dan yang lain antri mandi karena mereka harus menyesuaikan jadwal masuk Madrasah dengan menghitung waktu dan fasilitas yang ada, dari sekitar 250 santri hanya tersedia 9 kamar mandi. Disini santri secara langsung akan terlatih untuk membudayakan disiplin dan antri dalam melakukan setiap aktifitas yang mereka lakukan. Setelah itu mereka harus mengikuti kegiatan belajar di madrasah mulai pukul 07.30 sampai 12.30 dan sholat dhuhur mereka wajib berjama’ah di masjid jami’ Kajen, setelah itu mereka pulang dan makan siang.
Karena perkembangan yang terjadi di pesantren dengan berbagai aktifitas dan kesibukannya secara personal, banyak diantara santri sudah tidak lagi melakukan liwetan ( masak sendiri ), kalaupun ada jumlahnya sangat sedikit, sebagian besar mereka kost makan, dan mereka diberi kebebasan untuk memilih tempat kost. Pesantren meyediakan bagi yang berminat, selain itu ada juga yang kost makan di warung makan dan rumah masyarakat sekitar.
Hal ini merupakan salah satu bentuk kebijakan pesantren sebagai usaha membangun relasi dengan masyarakat, selain sebagai wahana komunikasi dalam rangka proses integrasi, hal ini juga bisa menjadi lahan peningkatan pemasukan ekonomi masyarakat sekitar dengan menjual jasa kepada para santri. Namun kadangkala disisi yang lain hal ini akan menimbulkan persoalan baru antara pesantren dan masyarakat ketika terjadi suatu kasus antara santri yang kost makan dengan induk semangnya atau masyarakat penyedia jasa, namun hal ini sebenarnya malah bisa menjadi wahana pelatihan santri dalam proses belajar bermasyarakat dan memecahkan masalah dengan pihak lain.
Karena mereka datang ke pesantren dengan niat untuk menimba ilmu, maka dalam rangka membatasi dan mengontrol ruang gerak serta komukasi yang berlebihan dengan masyarakat sekitar, mereka dilarang berhubungan dengan tanpa alasan yang jelas dan melebihi batas waktu yang telah ditentukan dengan istilah “nonggo”. Nonggo adalah suatu bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh santri ketika mereka berada di rumah penduduk sekitar pesantren bukan karena urusan tertentu yang diperkenankan oleh pesantren dan melebihi batas waktu yang telah ditentukan.
Setelah makan siang waktu yang ada digunakan santri untuk istirahat kecuali hari tertentu ketika ada kegiatan kerja bakti yang dilakukan dua kali dalam satu minggu atau bagi santri yang memiliki tanggungan hafalan biasanya mereka memanfaatkan waktu tersebut untuk menyepi ketempat-tempat tertentu disekitar pesantren atau ke masjid jami’ kajen dan juga makam mbah Mutamakkin untuk muroja’ah atau menambah jumlah hafalan yang harus mereka selesaikan, meskipun pada waktu Ashar mereka harus kembali ke pesantren untuk melakukan sholat berjama’ah. Selesai sholat ashar dilanjutkan dengan pengkajian kitab kuning di bidang Tasauf dan fiqih dengan jadwal sesuai tingkatan dan materi yang diajarkan.
Menjelang magrib mereka harus lagi disibukkan dan dibiasakan dengan budaya antri dan disiplin mengatur jadwal mandi biar tidak ketinggalan kegiatan selanjutnya yang menjadi kewajiban mereka. Setelah sholat magrib berjama’aah mengkaji kitab Nahwu dan Shorof, mereka makan malam setelah jama’ah sholat Isya’ dilanjutkan jam belajar ketika tidak ada kegiatan rutin seperti , pengkajian kitab, latihan khitobah, barzanji, kursus bahasa arab dan muroja’aah bagi yang memiliki tanggungan hafalan, ngaji Al-qur’an dan melakukan tugas-tugas yang dibebankan oleh madrasah.
Diluar berbagai kegiatan rutin yang diadakan di pesantren tersebut, santri masih harus melakukan kegiatan yang diadakan oleh madrasah masing-masing dimana mereka sekolah, diantara kegiatan yang dilakukan; Pramuka, Musyawaroh ( pengkajian kitab kuning ), kursus komputer, latihan sepak bola dan voly, latihan Drum Band dan terlibat dalam berbagai kepanitiaan hari besar.
Setiap santri yang akan melakukan aktifitas di luar pesantren diwajibkan izin kepada pengurus. Pada malam hari untuk menjaga dan mengkontrol keadaan dan lingkungan santri digilir untuk melakukan jaga malam yang sekaligus bertanggung jawab untuk membangunkan semua warga pesantren menjelang sholat subuh. Ada sesuatu yang unik dalam hitungan keterlambatan seorang santri ketika akan melakukan aktifitas sholat berjama’ah. Mereka harus sudah berada di dalam Mushola sebelum Adzan selesai dikumandangkan kalau sampai melewati batas tersebut mereka dianggap “kecimpung” dan akan mendapat sangsi.
Semua sangsi yang diberlakukan dalam pesantren maslakul Huda didasarkan pada niatan dan filosofi untuk mendidik sehingga sangsi yang diberlakukan tidak ada yang terlalu memberatkan meskipun dalam bentuk fisik, didalamnya mesti ada nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan, seperti; harus setor hafalan melebihi jumlah biasanya yang telah ditentukan, membersihkan WC/kamar mandi, menyapu halaman, jaga malam, pidato di depan santri lain ketika berjama’ah, jama’ah di shof paling depan dalam waktu yang ditentukan, dan lain sebagainya yang memiliki nilai-nilai disiplin dan penanaman tanggung jawab.
Ketika dalam tahap tertentu, seorang santri masih saja melakukan pelanggaran, biasanya sangsi akan ditingkatkan dalam bentuk yang lain, seperti melakukan hafalan setiap habis shubuh di dalam Ndalem ( rumah kiai ) atau disuruh buat surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi dengan meminta tanda tangan ustadz tertentu, dipindah untuk bertempat di ndalem dalam jangka waktu tertentu, kalau masih saja tidak ada perubahan orang tua mereka akan dipanggil atau dipindah ke pesantren lain dalam kurun waktu tertentu dalam rangka pembelajaran, sampai pada tahap dikeluarkan, itupun dilakukan ketika pengurus sudah benar-benar kewalahan dan tidak sanggup lagi memberikan bimbingan pada santri tersebut.
Berbagai tahapan pemberian sangsi diatas merupakan pilihan sistem yang ditempuh pesantren Maslakul Huda sebagai sebuah metode pendidikan disiplin dan penanaman tanggung jawab. Pada dasarnya santri adalah manusia merdeka yang memiliki hak untuk mendapat pendidikan oleh lembaga manapun termasuk pesantren dan pendidikan merupakan proses internalisasi dari nilai-nilai yang diajarkan melalui tranformasi dan transmisi keilmuan. Sehingga santri dalam tataran ini diasumsikan sebagai individu yang masih dalam tarap belajar dan sedang mencari sesuatu yang sesuai dan dibutuhkan, maka ketika ada santri yang nakal dan sering melakukan pelanggaran tidak lantas dikucilkan dan dikeluarkan namun sebaliknya mereka harus diberikan perhatian dan penanganan secara khusus dengan pemberian sangsi, karena mereka termasuk orang-orang khusus dalam hal ini sering melanggar. Bahkan dalam kasus tertentu seorang kiai ada yang memberikan perhatian lebih kepada santri yang nakal, hal ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan tanggung jawab dan kasih sayang, anehnya santri yang nakal tersebut biasanya akan berubah dan mulai bertanggung jawab karena menjadi perhatian kiai, pendidikan model ini dalam bahasa modern sering disebut “pedagogi” yaitu dengan mengikutsertakan keterlibatan subyek sebagai obyek pendidikan baik secara intelektual maupun emosional.
PILIHAN TEXT BOOK
Pengkajian kitab yang dilakukan di pesantren Maslakul Huda, semua pelaksanaannya disesuaikan dengan sholat rawatib dan biasanya dilakukan setelah sholat berjama’ah, hal ini merupakan sebuah strategi tersendiri karena dengan demikian santri sebagai peserta akan terbiasa untuk berkumpul dan mudah dalam pengkondisiannya. Kitab yang dikaji sepenuhnya berangkat dari keinginan dan kebutuhan santri yang biasanya disesuaikan dengan pelajaran di madrasah untuk menunjangnya atau disesuaikan dengan kebutuhan santri didalam menjawab kebutuhan aktifitasnya sehari-hari, materi yang sering dingkat adalah fiqih dan tasauf. Kompromi yang paling akhir dalam menentukan kitab ditempuh dengan menyodorkan beberapa kitab kepada kiai atau ustadz dan beliaulah yang memilih dari beberapa kitab yang disodorkan.
Fiqih dan tasauf menjadi pilihan karena dalam kehidupan sehari-hari seorang santri tidak bisa lepas dari tata cara yang mesti disesuaikan dengan ajaran dan nilai-nilai yang Islami, dan fiqih merupakan fan keilmuan dalam Islam yang membahas berbagai tata cara dan perilaku yang mesti dilakukan seorang muslim sesuai dengan syari’at Islam. Sementara tasauf mengajarkan tentang ahlak dan etika baik itu berhubungan dengan Allah sebagai sang Khaliq, manusia sebagai patner hidup secara sosial maupun dengan alam dan diri sendiri.
Pengkajian kitab ini tidak hanya berhenti saja pada pemaknaan dan pemahaman, namun lebih dari itu seorang santri dituntut untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam pengawasan pengurus dan kiai serta nmasyarakat sekitar, aktifitas pelaksanaan ajaran-ajaran yang dilakukan melalui pengkajian yang dikontrol oleh pihak luar tersebut pada tahap selanjutnya diharapkan akan menjadi kebiasaan dan tradisi serta kesadaran santri sehingga terinternalisasikan dalam diri dan menjadi karakter dalam melakukan setiap aktifitas baik personal maupun sosial.
PESAN SIMBOLIK / VERBAL
DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI PENGASUH
Pendidikan di pesantren tidak hanya berupa materi pengajaran dan pengkajian yang bersifat text book semata namun banyak hal yang secara tidak langsung menjadi materi dan obyek pemikiran dan perhatian para santri, bagaimana cara mereka bergaul dengan santri yang berangkat dari latar belakang yang sama sekali berbeda. Makna penting pesantren Maslakul Huda bagi santri tidak hanya terletak pada fungsinya sebagai lemabaga pendidikan yang telah mentransfer nilai-nilai ajaran pada mereka, tetapi juga karena sepak terjang dan keterlibatan KH.MA Sahal Mahfudh sebagai pengasuh dalam kancah pergulatan nasional baik dalam bidang pendidikan maupun politik. Karakter dan corak pemikiran serta sikap kiai dalam wilayah publik secara tidak langsung menjadi sebuah materi pendidikan yang sangat berpengaruh dan mewarnai sikap dan pemikiran para santri sehingga seringkali kita akan mendapatkan seseorang yang pernah “nyantri” mudah dikenali dan diukur, baik dari segi keilmuan dan pemikirannya dari asal pesantren dan pengasuhnya.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari effek sebuah sistem pendidikan model pesantren, dimana fungsi dan tujuan dari berlakunya pendidikan pesantren adalah penanaman dan pembentukan karakter yang dilakukan secara terus menerus, terencana dan terkontrol dalam bentuk pengawasan pondokan/asrama yang dilakukan selama 24 jam penuh. Masih lagi ditambah pengaruh dari nilai-nilai yang diajarkan yang didalamnya terdapat materi yang menjadikan mereka punya pemikiran dan perilaku bercorak tertentu, karena memang di pesantren terhadap penghormatan terhadap senioritas dan keilmuan. Pendidikan pesantren mengasumsikan terjadinya keseimbangan antara penerimaan materi dan praktek secara sosial, seorang santri akan secara langsung melaksanakan setiap ilmu yang baru diterimanya dalam kehidupan sehari-hari, karena lingkungan dan budaya di pesantren menuntut demikian dalam pengawasan yang sangat ketat melalui berbagai aturan baik tertulis yang berbentuk tata tertib maupun yang tidak tertulis berbentuk tradisi dan budaya.
Sikap dan perilaku santri sangat tertib dan terkontrol, bagaimana mereka harus mampu menyesuaikan diri untuk hidup tanpa menggantungkan pada orang lain dan mesti melakukan setiap aktifitasnya dengan berdiri diatas kaki mereka sendiri, secara langsung mereka akan dihadapkan pada kehidupan komunal yang mesti menghitung banyak hal diluar dirinya baik itu berhubungan dengan, ekonomi, sosial, budaya bahkan politik. Sederhananya mereka akan terlatih secara nyata untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan banyak pihak, teman, ustadz, pengurus dan masyarakat sekitar pesantren selama 24 jam.
Diluar itu mereka juga terus berhadapan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, pengasuh seringkali dalam setiap sambutannya di berbagai kesempatan tidak pernah lupa memberikan wejangan dan menyampaikan perkembangan aktual yang terjadi di luar pesantren, baik itu menyangkut isu-isu sosial, budaya, ekonomi dan politik, beliau selalu memberikan wawasan dan masukan wacana sehingga santri tidak lagi, gumunan, kagetan dan telat dalam mengakses perkembangan mutakhir.
Kiai sebagai pengasuh dalam kehidupannya sehari-hari baik dalam lingkup internal di pesantren ataupun secara ekternal di luar pesantren menjadi barometer tersendiri bagi segenap santri maslakul Huda, bagaimana cara beliau bersikap, berperilaku dan berpolitik. Dalam setiap kesempatan kiai tidak segan-segan dan selalu mengingatkan, bahwa setiap manusia tidak akan pernah bisa lepas dan menghindar dari jaring yang namanya politik, namun demikian bukan berarti harus terjun dan terlibat langsung dalam kancah politik praktis. Politik bagi kehidupan adalah sunnatullah, berpolitik sudah barang tentu dan tidak berarti harus secara vulgar dan pragmatis.
Perilaku dan sikap kiai dalam berbagai hal secara tidak langsung menjadi materi pendidikan bagi segenap santri, dawuh beliau adalah kaweruh dan sikap beliau adalah tuntunan bagaimana seharusnya manusia bersikap dan berperilaku. Ketika pengurus atau santri melakukan suatu kesalahan, kiai sebagai pengasuh tidak akan langsung menegur dan membenarkannya, namun beliau akan berubah sikap sehingga santri akan tanggap bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan dan kiai akan kembali berpeilaku seperti biasa ketika santri telak introspeksi dan membenahi kesalahannya. Kiai dalam menanamkan disiplin kepada para santri sangat ketat dan tegas, sebuah contoh ketika beliau akan mengimami sholat berjama’ah ketika masih ada santri yang terlambat dan belum siap beliau akan kembali dan tidak jadi mengimami.
Dalam setiap prolog sebelum rapat yang beliau hadiri tidak ada yang namanya pendiktean apalagi arogansi dan otoritas tunggal sebagai pimpinan pedantren, beliau hanya memberikan gambaran secara umum akan sesuatu yang mesti dilaksanakan, semua pilihan dan keputusan sepenuhnya ditangan santri melalui mekanisme yang telah disepakati, dalam wilayah ini kiai hanya bertindak sebagai motivator dan supervisor dalam keberlangsungan sistem pendidikan pesantren Maslakul Huda.
Kebebasan yang bertanggung jawab, nalar kritis dan kreatif selalu beliau hembuskan melalui angin demokrasi dalam kepemimpinan pesantren lewat berbagai forum baik itu ketika mengkaji kitab kuning maupun setiap kesempatan sambutan beliau, sama sekali tidak ada kesan otoriter dan centralistik dalam pengambilan setiap kebijakan, semuanya ditempuh melalui proses dan prosedur yang berlaku.
Watak beliau yang disiplin, tekun, sederhana dalam hal materi, tegas sekaligus lentur dalam menentukan setiap persoalan fiqih, pluralis, egaliter, idealis namun realistis, demokratis, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi santri ditengah carut marut kehidupan bangsa seperti ini. Lepas dari ketidaksempurnaan seorang manusia, beliau adalah figur penyuluh ditengah hutan gelap belantara kebodohan.
Kesibukan kiai karena berbagai jabatan aktifitasnya sedikit banyak mempengaruhi kesempatan para santri untuk berinteraksi dengan beliau. Hampir dapat dipastikan sekali dalam seminggu beliau harus pergi keluar kota dalam rangka memenuhi panggilan tugasnya sebagai seorang tokoh NU sekaligus tokoh bangsa. Namun hal ini tidak menyurutkan sedikitpun perhatian dan kecintaan beliau terhadap santri dan pesantrennya, beliau selalu menyempatkan ketika ada acara-acara khusus ketika dibutuhkan kehadirannya oleh santri, bahkan untuk membuktikan semua itu kiai menyempatkan waktu khusus di bulan ramadlan sepenuhnya untuk berinteraksi baik secara fisik maupun intelektual dengan para santrinya melalui pengkajian kilatan mulai pagi sampai menjelang sore hari selama satu bulan penuh, bahkan setiap ramadlan beliau menyempatkan sholat berjama’ah tarawih al-qur’an yang diimami oleh santri senior, ini sebagai bukti nyata bahwa beliau sangat menghormati keilmuan dan kapasitas seseorang tanpa melihat statusnya, sebagai seorang kiai dan pengasuh beliau rela menjadi makmum kepada santrinya. Kegiatan ramadlan ini membuat beliau harus menolak setiap kegiatan diluar pesantren.
Dalam pengkajian kitab di bulan ramadlan tersebut, kiai mencurahkan seluruh perhatian dan waktunya untuk memberikan siraman rohani dengan membahas berbagai masalah yang tertulis dalam kitab kuning kalsik dengan mengkontektualisasikan pada berbagai persoalan sosial mutakhir yang terjadi, di setiap pemaknaan beliau selalu merefleksikan dengan berbagai kejadian sosial, mulai ekonomi,budaya dan politik.
Satu hal yang unik dilakukan oleh kiai, beliau sering menggunakan bahasa-bahasa populer di dalam memaknai kitab kuning, sehingga selain santri harus faham tentang penafsiran dan aturan baku pemaknaan kitab kuning santri juga dituntut untuk faham dan senantiasa menambah wawasannya tentang istilah-istilah populer mutakhir. Meskipun sebaliknya kiai dalam setiap tulisan ilmiahnya sering menggunakan bahasa arab untuk menjelaskan ide dan gagasannya. Hal ini menjadi pelajaran tersendiri bagi para santrinya untuk menguasai bahasa asing sekaligus tidak perlu minder dalam mempopulerkan bahasa arab.
a. Sistem Presidium
Dari sekian pesantren yang ada di Desa Kajen, Maslakul Huda memiliki ciri Khas dalam methode pendidikan dan pengkaderannya. Lazimnya disebuah pesantren struktur kepengurusan berada langsung di bawah kontrol dan kendali pengasuh yang biasanya memakai sistem sentralistik dengan kepengurusan model; ketua pondok atau lurah pondok. Sistem ini mengasumsikan ketua atau lurah pondok berperan sebagai penanggung jawab operasional dari berlangsungnya kegiatan yang dilakukan pesantren, sementara kebijakan penuh dan pengambilan keputusan masih ditangan kiai sebagai pengasuh. Pesantren Maslakul Huda berbeda, sistem yang digunakan bukan ketua pondok ataupun lurah pondok,meskipun dalam fungsi dan tanggung jawabnya ada yang berperan dalam posisi tersebut. Presidium adalah bentuk yang diidealkan oleh pesantren Maslakul Huda dalam mendidik santri berorganisasi dan bermasyarakat.
Dengan sisitem ini kewenangan bisa dikatakan sepenuhnya berada di tangan santri, pengasuh hanya berperan sebagai motivator dan supervisor itupun dalam sistuasi tertentu yang memang memungkinkan atau mengharuskan melakukan langkah-langkah tersebut. Presidium diberikan kebebasan penuh yang bertanggung jawab di dalam mengelola keberlangsungan roda kepengurusan yang menggerakkan semua bentuk aktifitas. Bahkan dalam keadaan tertentu presidium akan dibiarkan ketika meminta pemecahan masalah kepada pengasuh, hal ini dilakukan supaya presidium sebagai pengurus untuk selalu berihtiar mencari jawaban dari masalah yang dihadapi, mereka mesti kreatif dan inovatif didalam menghadapi setiap masalah.
Presidium terdiri dari 7 santri senior yang terdiri dari; Presidium I 2 orang, Presidium II 2 orang, Presidium III 2 orang dan satu ketua predidium yang menjabat sebagai koordinator, setiap presidium terdiri dari 2 orang yang sekaligus menjabat sebagai ketua dan wakil. Presidium I menempati fungsi sebagai ketua, Presidium II sebagai sekertaris dan presidium III berperan sebagai keamanan. Senioritas dalam pemilihan anggota presidium bukan dihitung dari lama seorang santri menempuh pendidikan pesantren ataupun dilihat dari tuanya umur namun senioritas disini selain dibatasi harus sudah menempuh tingkatan Aliyah juga harus memiliki berbagai trake record dan kredit point sebagai aktifis di berbagai jenjang pengkaderan yang ada di pesantren Maslakul Huda.
Dalam sistem ini berlaku regulasi, dimana tiga jabatan presidium yang ada dibawah koordinasi ketua presidium setiap 4 bulan sekali dalam satu periode kepengurusan akan mengalami pergeseran. Pergeseran ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan wawasan dan pengalaman keorganisasian supaya keenam orang yang ada dalam presidium mengalami posisi; ketua, sekertaris dan keamanan dengan berbagai tanggung jawab dan problematika yang dihadapi selama satu periode kepengurusan. Pengkaderan dan pelatihan di maslakul huda memang fokus dalam arti santri tertentu yang menjabat presidium dalam kepengurusan setiap periodenya benar-benar dibekali berbagai kemampuan dan pengalaman melalui sistem regulasi ini.
Mekanisme pemilihan presidium sepenuhnya menjadi hak pengurus, dalam setiap akhir kepengurusan mereka akan melangsungkan rapat umum yang terdiri dari semua unsur yang ada di pesantren maslakul Huda untuk melakukan evaluasi akhir sekaligus akan dilanjutkan pemilihan anggota presidium yang terdiri dari 7 orang. Semuanya dilaksanakan secara terbuka yang didahului dengan pengajuan beberapa calon yang layak melalui berbagai uji kelayakan dan pengalaman, feet and propertest, apakah seorang santri mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut. Uji kelayakan tidak hanya ditinjau dari kemampuan intelektual dan kepandaiaan dalam berorganisasi, namun pertimbangan kecerdasan dalam wilayah spiritual dan emosional menjadi perhitungan penting termasuk kedewasaan dalam bidang moral dan sosial. Bahkan seringkali seorang santri gagal untuk dicalonkan menjadi anggota presidium ketika dia cacat dalam wilayah SQ. EQ dan moral etis meskipun dalam pengalaman organisasi dan intelektual mengatasi yang lain. Hal ini menjadi pelajaran tersendiri di kalangan santri, bahwa kecerdasan intelektual bukanlah segala-galanya, seorang manusia selain cerdas ditiuntut untuk arif dan bijak secara spiritual dan emosional, karena kecerdasan intelektual tanpa dilandasi keduanya akan menjadi anarkhi.
Dari ketuju anggota presidium yang terpilih akan diambil 3 orang untuk diajukan kepada pengasuh yang kemudian akan dipilih menjadi ketua presidium. Proses ini juga melalui penyaringan yang ketat dan rigid, dengan mempertimbangkan berbagai hal termasuk kemungkinan ketiganya bisa bekerjasama dengan pengasuh dalam kinerja selanjutnya. Selain itu langkah ini juga dimaksudkan sebagai jalan tengah untuk memberikan sedikit kebebasan kepada pengasuh dalam memilih pembantunya dalam menggerakkan roda kepengurusan pesantren Maslakul Huda. Disana ada nilai demokrasi dan keseimbangan, antara hak pengurus dalam menentukan mekanisme keorganisasiannya dan hak pengasuh yang notabene sebagai pemilik lembaga dalam memilih patner dan pembantunya. Nilai tersebut sangat dalam maknanya sebagai penghormatan dan penanaman nilai-nilai demokrasi, apalagi ditengah-tengah lembaga pesantren seperti ini.
Model sistem seperti ini, presidium, senioritas dihitung dari track record dan kredit point aktifitas dan keorganisasian, pemilihan langsung dan terbuka oleh santri, penanaman nilai-nilai demokrasi menjadikan nuansa kompetisi dan politis berlangsung di Maslakul Huda secara fair dan dapat dinikmati serta diikuti oleh semua pihak. Seorang santri yang mempunyai nalar dan potensi seorang aktifis akan berhitung dan menumpuk batu pengalaman untuk panjatan ke jenjang yang prestisius menjadi anggota presidium.
Demokratisasi
Demokratisasi yang berlangsung di pesantren Maslakul Huda tidak hanya berlaku di dalam pemilihan anggota dan penentuan ketua presidium, namun di semua lini dan unsur yang ada di dalamnya. Demokrasi telah menjadi pilihan sadar dan ideal dari keberlangsungan pesantren Maslakul Huda, ia telah mengurat nadi dalam setiap mekanisme keorganisasian. Menalar dalam benak kepengurusan, bahwa ketunggalan dan kejumudan dalam hal apapun akan menafikan banyak hal yang lain yang sekaligus akan membunuh potensi yang dihasilkan oleh pluralisme. Padahal perbedaan adalah sunnatullah dan perlu dikelola sedemikian rupa supaya menjadi energi yang besar dan bermanfaat.
Santri sepenuhnya diberikan kebebasan berekspresi dan berkreasi selama masih dalam koridor tanggung jawab. Kebebasan itu disatu sisi berarti sebagai kepercayaan yang diberikan oleh pengasuh selaku pimpinan untuk dilaksanankan dan dimaknai secara arif dan bijak. Santri sepenuhnya sebagai pemegang keputusan setiap apa yang ingin dilakukannya. Pendidikan model ini ditempuh sebagai upaya untuk menjadikan santri bukan hanya sebagai obyek dari proses yang berlangsung, namun sebaliknya santri ditempatkan sebagi subyek yang bertanggung jawab sepenuhnya dari apa yang menjadi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan bukan berarti menuruti setiap keinginan, karena seringkali keinginan yang menjadi obsesi merupakan sesuatu yang belum tentu menjadi sebuah kebutuhan.
Semuanya dilakukan melalui mekanisme keorganisasian dengan musyawaroh dan mufakat, sangat jarang dan kemungkinannya sangat kecil sekali dalam setiap rapat yang diadakan oleh pengurus berakhir dengan pilihan Votting, pengambilan suara terbanyak. Meskipun dalam proses tersebut sering terjadi perdebatan yang teramat sengit yang kadang menyulut ketegangan, tidak hanya dalam adu argumentasi namun juga kadang sampai menggebrak meja dan lempar gelas. Langkah Votting kalaupun diambil biasanya hanya ketika penentuan santri yang akan menduduki jabatan anggota presidium, itupun ketika sulit untuk mencari perbedaan dalam potensi dan kapasitas seorang calon.
Dalam mekanisme yang berlangsung di pesantren maslakul Huda tersebut, kiai sebagai pengasuh dan pimpinan pesantren sama sekali tidak ikut campur tangan, apalagi mempengaruhi proses yang berlangsung, semuanya berjalan alami dan sesuai dengan aturan main yang ada. Kiai hanya memberikan wejangan dan masukan sebelum acara rapat dimulai, itupun kadangkala diwakilkan kepada pembantu pengasuh. Pengasuh dalam mekanisme ini hanya memilih ketiga calon yang diajukan oleh forum rapat pengurus.
Sistem demokrasi sepenuhnya mengandaikan keterlibatan semua pihak untuk ikut terlibat dalam menentukan setiap kebijakan yang akan diambil yang menyangkut hajat orang banyak. Sistem ini juga mengidealkan keberadaan wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya ditangan para santri, kepengurusan dari santri oleh santri dan untuk santri. Sistem ini dapat diberlakukan di pesantren Maslakuk Huda banyak faktor yang mendukung, dan faktor yang paling utama adalah Good Will dari kiai sebagai pengasuh dan pimpinan pesantren yang telah dengan sadar dan sungguh-sungguh dalam menerapkannya, karena dengan berlakunya demokratisasi ini sedikit banyak akan mengurangi hak pengasuh, namun semua itu sudah menjadi niatan beliau untuk menjadikan pesantren sebagai wahana pendidikan alternatif dan mendorong kreatifitas dan inovasi santri dalam berbagai bidang dengan nalar demokrasi. Karena menurut beliau pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang dapat menciptakan peserta didik menjadi insan yang kreatif, kritis dan mandiri, sehingga dengan kemandirian, kreatifitas dan daya kritisnya tersebut peserta didik akan dengan sendirinya mencari dan mencipta bukan menunggu.
Pembuatan kurikulum, anggaran, evaluasi, problem solving
Berangkat dari sebuah kesadaran bahwa pendidikan yang paling ideal adalah pendidikan yang dapat menciptakan peserta didik menjadi insan yang kreatif, kritis dan mandiri serta sudah seharusnya mereka dianggap sebagai individu yang merdeka dan tidak dipandang sebagai obyek namun sebaliknya mesti ditempatkan dalam kapasitas sebagai subyek, pesantren Maslakul Huda sampai dalam wilayah pembuatan kurikulum dan anggaran pendidikan sepenuhnya menyerahkan dan menurut kebutuhan mereka yang diputuskan melalui rapat pengurus.
Langkah ini ditempuh sebagai upaya konkret untuk mendidik santri sebagai peserta didik supaya berlatih merencanakan dan mengatur serta mengetahui setiap keinginan yang dibutuhkannya. Pembuatan kurikulum dan anggaran pendidikan ini menyangkut semua hal yang berkenaan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan materi dan ajaran yang akan diterapkan sebagai program pesantren selama satu periode, dalam kasus ini pengasuh sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada santri untuk meramu dan mempersiapkan setiap kebutuhannya tanpa sedikitpun didekte atau dipengaruhi oleh pengasuh sebagai pimpinan pesantren.
Proses pembuatan kurikulum pendidikan ini dilakukan secara seksama dengan menyerap aspirasi santri melalui rapat pengurus, materi yang dibuat mulai dari kitab apa yang akan dikaji dan ustazd siapa yang akan menghantarkan sampai pada dengan metode yang akan digunakan. Semua program selama satu periode direncanakan dengan memperhatikan hasil evaluasi periode sebelumnya, ketika ada program kegiatan yang masih bermanfaat dan memang dibutuhkan oleh santri akan tetap dipertahankan sekaligus melihat perkembangan kebutuhan yang terjadi, malahan bisa jadi ada program yang bersifat temporal dan insidental seperti pelatihan dan peningkatan skill dalam bidang tertentu yang biasanya berbentuk kursus singkat.
Selain itu pendidikan dengan sistem kemandirian pesantren Maslakul Huda juga terlihat dlam penyusunan anggaran belanja dan pendapatan semuanya dilakukan sepenuhnya oleh santri, pesantren hanya melakukan koordinasi dan konsolidasi. Bahkan dalam penyusunan ini mereka harus mampu membuat anggaran yang akan dibutuhkan dalam satu periode dengan mengacu pada kurikulum pendidikan yang telah diprogram. Mereka yang menyusun anggaran mereka juga yang mengelolan dan melakukan penarikan jariah/SPP setiap satu kwartalnya. Penyusunan anggaran keuangan ini harus rigid dan tepat karena mereka harus bisa mempertanggungjawabkan dengan melaksanakan semua program yang telah disusun, salah dalam merancang anggaran berarti saldo min yang mesti ditanggung dan ini berarti mereka harus melakukan penyesuaian lagi terhadap program yang telah direncanakan.
Hal ini menarik karena jarang sebuah lembaga pendidikan memberikan kewenangan di dalam pembuatan kurikulum, yang seringkali terjadi dalam proses pendidikan adalah sistem doktrinasi atau top down, dimana peserta didik hanya diletakkan sebagai bagian dari sistem dan obyek semata yang diberlakukan secara atomis. Proses pendidikan bahkan kerapkali dipergunakan sebagai upaya untuk melanggengkan struktur kekuasaan dengan mempertahankan ideologi dan hegemoni penyelenggara pendidikan.
Sementara dalam evaluasi, pengurus melakukan beberapa tahapan ada evaluasi yang bersifat insidentil dan spontan ketika ada permasalahan yang segera dipecahkan dengan melakukan rapat gabungan atau koordinasi. Namun secara mekanis dalam sistem yang diterapkan di pesntren Maslakul Huda evaluasi dilakukan secara periodik dan berksinambungan selama periode kepengurusan. Evaluasi biasanya dilakukan secara formal melalui rapat pengurus. Dalam evaluasi dilakukan inventarisasi persoalan yang timbul sekaligus melakukan problem solving, dalam banyak kasus pengurus sebisa mungkin menyelesaikan setiap persoalannya sendiri tanpa meminta bantuan pembentu pengasuh apalagi pengasuh, kecuali dalam kasus-kasus tertentu ketika persoalan sudah dianggap mentok dan memerlukan kebijakan yang lebih kuat maka baru diajukan kepada pengasuh itupun seringkali ketika pengasuh menganggap masih dalam tataran bisa dicari jalan pemecahannya pengasuh tidak akan memberi jawaban hingga pengurus dapat menyelesaikannya sendiri.
Metode ini sangat penting, dimana santri dididik untuk kreatif dan inovatif serta mandiri dalam merencanakan, melaksanakan dan menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapinya, secara menyeluruh sistem dan metode yang diterapkan di pesantren Maslakul Huda melatih dan membentuk karakter santri yang mempunyai kemampuan baik dalam hal agama sekaligus sosial, sehingga ketika mereka nantinya terjun di masyarakat tidak gamang dan mampu membaur serta ikut serta dalam pergumulan sosial yang terjadi. Sistem dan metode pesantren Maslakul Huda tidak hanya memungkinkan santri untuk belajar ilmu agama an sich namun sekaligus, cara bermasyarakat dan berpolitik melalui berbagai program dan aktifitas yang dilaksanakannya.
Langganan:
Postingan (Atom)